Matahari mulai meninggi, Alida pun baru keluar dari ruang guru. Ia berjalan tak semangat bak orang kehilangan harapan hidup, menyusuri koridor sepi menuju kelasnya. Ultimatum dari sekolah yang disampaikan melalui Pak Dianang, membuat isi kepalanya kacau-balau!
Sungguh, mengulang kelas 3 adalah hal mengerikan yang tak pernah Alida bayangkan. Ia dan keluarganya pasti semakin dicemooh dan dihina oleh sanak saudara, juga kerabat yang lain. Sudah bangkrut, hutang melimpah dan tak mampu membayar, sekolah anak pun berantakan.
Tak hanya itu saja, sudah bisa dipastikan Alida akan menjadi sasaran omelan Mama dan makian Papa karena tak memberikan bantuan berarti untuk usaha nasi padang yang dijual Mama.
Alida kembali mengatur napas. Sikap dan perlakuan orang tua, benar-benar menyusahkan hidupnya. Membuat semangat Alida terbang entah ke mana. Alida hanyut dalam pikirannya yang kusut, belajar di kelas pun tak ada yang masuk, hingga jam istirahat berbunyi.
“Muka lesu amat, Al?” Hani, salah seorang sahabat Alida, mendatangi kelas Alida saat siswa-siswa berhamburan menuju kantin. Ia segera mengambil pesanannya, nasi padang yang baru Alida letakkan di atas meja.
“Capek, abis ngejar patas,” jawab Alida, asal.
“Nggak percaya gue!” Anggi yang datang bersama Hani menyahut. Bersama Hani, ia duduk di seberang meja Alida. “Waktu dihukum lari muterin lapangan basket siang bolong, masih sempet ketawa-ketawa aja lo. Masa ngejar patas di pagi hari, capek. Pasti ada yang lain, ‘kan?”
Alida melihat Hani dan Anggi secara bergantian. Dua sahabat berbeda kelas yang selalu menjemput Alida untuk makan siang di kantin. Tapi, untuk siang ini mereka sudah janjian makan nasi padang jualan Alida, di dalam kelas.
“Lo berdua tahu Javas, nggak?” tanya Alida, pelan, saat mereka sudah mulai menyantap makan siang.
“Javas Raga Samudera?” Hani dan Anggi memastikan.
Alida mengangguk.
“Tahu lah!” Hani dan Anggi menjawab kompak.
“Dia se-angkatan sama kakak gue,” tambah Anggi. “Kenapa lo tiba-tiba nanyain Javas? Tumben banget!” Ia pun menatap heran Alida.
“Nggak apa-apa.” Alida membuka bekal makan siangnya yang berisi rendang. “Orangnya kayak gimana, sih?”
“Masa lo nggak tahu?” Hani kaget. Sampai berhenti mengunyah.
Alida menggeleng dengan polosnya.
“Lo inget sama Carla si pentolan geng cewek anak kelas 3, yang hampir ngelabrak lo waktu kita di kelas 1?” Anggi memberi clue.
Dahi Alida mengernyit. “Yang tiba-tiba muncul di depan kelas, terus ngomel-ngomel nggak jelas sama gue?” Ia memastikan.
“Naaah! Itu mantannya Javas!”
Alida mendengus berat. “Gue nggak nanya mantannya, Anggiii! Gue nanya Javas itu siapa? Bentuknya kayak gimana? Anak kelas berapa dia?”
“Yang pasti dia kakak kelas kita. Tinggi. Gede. Senior kita yang paling gagah, Al! Kalau dia lewat, kayaknya sulit buat nggak lihat dia. Berwibawa gitu auranya. Tapi, sayang, dijagain melulu sama si Carla,” papar Hani, lancar, seperti sedang nyolong curhat.
Dalam kepala Alida, melintas sesosok laki-laki tinggi besar seperti yang diberitahu Hani.