Sambil mengetukkan kuku di atas buku yang ia pangku, sepasang mata Alida mengikuti ke mana angin kencang berhembus, menyapu debu. Gedung tiga lantai itu sudah sepi orang. Sudah 15 menit Alida duduk di bangku depan ruang tata usaha, menanti kedatangan Pak Dianang yang memintanya menunggu di sana selepas pulang sekolah.
“Alida.” Pak Dianang tiba. Ia baru menyelesaikan beberapa tugasnya di ruang guru. “Kamu udah siap?”
Siswi berkerudung putih yang mengenakan seragam putih abu-abu serba panjang itu lantas menarik napas dalam-dalam. “Sudah siap, Pak,” jawabnya dengan raut dibuat seantusias mungkin.
“Kita jalan kaki aja, ya, ke rumah Javas. Deket, kok. Cuma 100 meter dari sini.” Pak Dianang memberitahu sambil menyandang tas kerjanya.
“Baik, Pak.” Disertai perasaan tak menentu, Alida pun melangkah mengikuti ke mana gurunya pergi.
Sudah lima hari berlalu sejak Pak Dianang menawarkan bantuan untuknya agar dapat membayar tunggakan sekolah. Alida pun sudah meminta izin pada Mama, dan izin terbit tanpa kendala. Namun, malah membuatnya digulung keresahan.
“Al, eyangnya Javas seneng banget waktu tahu kamu mau jadi teman belajarnya Javas.” Pak Dianang membuka percakapan ketika melewati gerbang sekolah. “Beliau tadi sampai telepon Bapak, loh! Mastiin apa kamu berubah pikiran atau nggak,” tambah laki-laki berkacamata itu, diakhiri sedikit kekehan.
Alida mendelik, melihat Pak Dianang dengan tatapan penuh tanya. “Berubah pikiran? Bukannya kemarin kita udah tanda-tangan kesepakatannya, Pak?”
Pak Dianang tersenyum lebar. “Saking senangnya beliau, Al! Sudah lama mencari, akhirnya dapat teman belajar yang cocok untuk Javas.”
“Cocok?” Dahi Alida berkerut. “Emanh sebelumnya, nggak ada yang cocok sama Javas, Pak?”
“Ya, begitulah. Semoga kamu bisa bantu Javas lulus tahun ini,” tandas Pak Dianang senang, sambil terus berjalan.
Mendengarnya, jantung Alida seperti dicubit! Di tenggorokannya seperti ada biji alpukat. Bagaimana dia bisa bantu Javas, kalau dirinya sendiri juga takut, bahkan tak tahu akan lulus atau tidak? Walaupun, urusan biaya sekolah sudah dapat dikatakan aman. Pundak Alida seperti ditimpa beban berton-ton!
“Pak Di,” panggil Alida, terdengar cemas.
“Ya, Al?” Pak Dianang menoleh saat Alida kini sudah berjalan sejajar dengannya.
“Menurut Bapak, apa saya mampu membimbing Kak Javas belajar?” Alida membiarkan kecemasan tercetak jelas di wajahnya. Ia tak begitu ingat bagaimana wujud Javas, apalagi karakternya. Hari itu, akan menjadi hari perdana ia menemani kakak kelasnya itu belajar. Caranya memanggil Javas pun sengaja diubah.
“Karena Bapak tahu kamu mampu, makanya Bapak nawarin ke kamu, Al. Tenang aja. Walaupun, Javas sering tawuran dan kesannya bandel, tapi dia anak yang baik. Bukan cowok yang suka nakalin cewek.” Pak Dianang berusaha menenangkan. Ia juga sudah memberitahu Alida jika pernah menjadi wali kelas Javas waktu pentolan sekolah itu duduk di kelas satu.
Alida kembali menarik napas dalam-dalam. “Bapak yakin … Kak Javas anak yang … ba-ik?” tanyanya, sungkan. Hati Alida masih saja gelisah. Ia tak menceritakan terang-benderang siapa Javas pada Mama! Desakan ingin segera melunasi tunggakan biaya sekolah, membuat jiwa Alida tertekan dan semakin tak mampu membendung ketakutan tidak lulus Ujian Nasional. Hingga Alida memilih hanya memberitahu segelintir hal tentang Javas, agar Mama meloloskan keinginannya membantu, mencari uang tambahan untuk melunasi biaya sekolah.
Langkah Pak Dianang berhenti. Ia lalu berputar ke arah Alida, memindai wajah siswinya yang terlihat tak tenang. Memang cukup berisiko mempertemukan Alida dengan Javas. Namun, Pak Dianang yakin kalau saat ini adalah momen yang tepat. Kedua siswa-siswinya itu saling membutuhkan satu sama lain. “Al, baju yang kita pakai ini menutupi apa yang ada di baliknya. Jika pakaian jelek, bukan berarti dalamnya juga jelek,” ucap Pak Dianang, sambil menunjuk dadanya. “Begitu juga sebaliknya. Kamu paham maksud Bapak, kan?”
Alida terdiam sejenak, mencerna maksud ucapan Pak Dianang. Kemudian mengangguk, pada selang berikutnya. Pak Dianang lantas melanjutkan langkah sambil menceritakan bagaimana Javas dulu dan sekarang untuk meyakinkan Alida, bahwa keputusannya membantu Javas tidaklah salah. Percakapan itu pun berhenti ketika Alida dan Pak Dianang tiba, di depan pintu pagar rumah Javas.