Ingatan Alida langsung terbang ke sebuah peristiwa paling mengerikan yang pernah terjadi dalam hidupnya, terjebak di tengah-tengah senior yang sedang tawuran!
Suara teriakan ‘serang’ pun menggelegar bagai petir menyambar di bawah teriknya matahari. Kebencian, dendam dan amarah terasa sangat kental dalam suara itu! Ekor mata Alida pun menangkap sang pemilik suara. Sesosok senior laki-laki bak seorang jenderal di garis depan medan perang, sedang memberi perintah pada pasukannya, sambil memegang gesper dengan ujung runcing bak belati tajam, yang siap ia ayunkan! Dia adalah seorang siswa kelas 3 yang cukup disegani dan ditakuti satu sekolah. Kini, sosok itu sedang duduk memandangi Alida dari kursi rodanya.
Dunia pun seakan sengaja berhenti berputar, hanya untuk mengembalikan ingatan Alida pada laki-laki yang ia beri gelar sebagai laki-laki paling bengis yang pernah dijumpainya! Seorang laki-laki yang telah mengukir kenangan menakutkan dalam benak Alida, ketika ia di kelas satu dan baru selesai Masa Orientasi Siswa. Oh, pantas saja tak ada memori sedikit pun untuk Alida mengingat siapa Javas. Tragedi tawuran antar sekolah paling parah sepanjang sejarah, yang Alida saksikan telah ia kubur dalam-dalam dari ingatan!
Cuplikan demi cuplikan peristiwa kembali membayang. Sebuah momen di mana Alida terjebak di tengah pembatas jalan raya dan hanya mampu berjongkok di sana, menunggu batu demi batu berhenti melayang di atas kepalanya. Hingga ia pun melihat dengan jelas betapa brutal dan tanpa ampun kakak kelasnya itu memukul, menendang sampai menginjak kepala siswa sekolah Bakti Nusantara, hingga bersimbah darah! Alida pun tak pernah mau tahu, apalagi mengenal siapa saja seniornya yang lebih mendahulukan urat daripada otak!
Ya, Allah. Kepala Alida mendadak berat, kedua tungkainya mulai lemas. Jantungnya tak lagi terasa berdetak! Apa ini yang namanya kualat pada orang tua? Karena Alida tidak berterus terang siapa Javas yang sebenarnya pada Mama? Alida menarik napas dalam nan panjang secara perlahan. Ingin rasanya Alida menghilang dari sana. Membatalkan kesepakatan dengan Eyang Javas. Lalu berjibaku dengan ketakutan, juga janji ke janji yang sering Mama ucapkan. Namun, apa hal itu mungkin terjadi?
Sekuat tenaga, Alida berjuang untuk tetap terlihat ramah di kala tatapan Javas terasa seperti menembus kepalanya, mencari tahu mengapa ia ada di sana. Alida meremas jari-jemarinya yang sudah basah. Ternyata, banyaknya informasi mengenai Javas yang ia dapatkan dari Anggi dan Hani tempo hari, tak cukup membuat Alida mengingat dengan benar bagaimana wujud sang pimpinan geng tawuran. Alida kira Javas yang dimaksud kedua sahabatnya adalah senior yang paling vokal memaksa dan mengancam teman-temannya untuk ikut tawuran. Rupanya, ketidakpedulian Alida berimbas pada apa yang menimpanya sekarang.
Selama 2 tahun lebih bersekolah, melihat Javas dapat dihitung dengan jari pada satu tangan! Alida tak pernah bertatap muka, atau bahkan berhadapan langsung seperti sekarang. Alida juga tak ingat untuk memastikan, bagaimana wujud Javas pada Pak Dianang.
Gadis berkulit putih itu kembali mengatur pernapasan. Matanya mulai memanas. Ia sudah membuat kesalahan fatal! Pertahanannya mulai goyah. Rasanya Alida tak sanggup lagi hidup di dunia nyata, menerima kenyataan yang harus dijalaninya mulai hari ini! Namun, kedua sudut bibirnya, tetap ia pertahankan untuk tersenyum. Tersenyum pilu karena keputusannya malah mendatangkan ketakutan baru, yang harus Alida hadapi seorang diri.
Benarkah Alida dapat belajar dengan tenang ketika bersama Javas? Bersama orang yang baginya adalah sosok paling mengerikan? Manusia yang tak punya hati dan belas kasih? Gadis itu kembali meraup oksigen banyak-banyak secara perlahan.
Dalam keheningan yang tercipta, rupanya, bukan hanya Alida yang terguncang parah. Pada pertemuan perdana dengan jarak dekat hanya beberapa langkah, Javas adalah orang yang paling terkejut di antara mereka berdua! Saking terkejutnya, Javas seperti terlempar ke dunia serba tidak mungkin yang hanya ada dalam angan-angan!
Oh, siapa yang tidak mengenal Alida Kara Paramitha? Siswi teladan yang terkenal dengan kecerdasannya satu sekolahan. Sikapnya ramah dan hangat. Keceriaan yang dibawa kemana kakinya melangkah bagai morfin yang membuat penggunanya candu. Alida pun tidak pelit memberikan contekan untuk ‘veteran’ sekolah yang tinggal kelas, sampai mereka naik kelas. Teman-teman satu geng Javas sampai memberi Alida gelar ‘calon istri masa depan’ saking inginnya memperbaiki kualitas keturunan. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati, untuk mewujudkan angan-angan itu. Perbedaan mereka terlalu jauh, sejauh jarak bumi dan langit!
Javas lalu memutar cepat kursi rodanya, membelakangi Alida. “Suruh dia pulang, Eyang!” usirnya begitu dingin. Laki-laki berusia 20 tahun itu lantas menghirup udara dalam-dalam hingga bahunya naik. Kehadiran Alida membuat batinnya yang mulai berdamai dengan kenyataan, kini, jadi hancur berantakan dalam sekejap!