Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #6

Saling Mempertaruhkan

Alida memaku dirinya di depan cermin kamar. Sampai pagi itu ia masih mempertanyakan apa yang harus dilakukan agar dapat menghadapi Javas dan rasa takutnya? Alida tidak memiliki banyak pengalaman meluluhkan hati laki-laki. Hati Papa saja sudah setengah mati ia luluhkan agar berhenti menghinanya pemalas. Namun, tak kunjung berhasil. Gadis berkacamata itu mendengus berat. Ia kemudian mengambil tasnya dengan gontai, lalu keluar kamar.

“Al, gimana hari pertama ngasih bimbingan ke temannya? Lancar?” Mama langsung bertanya ketika Alida muncul di depan kamar. Pagi buta adalah waktu yang seringkali digunakan Mama untuk bicara dengan Alida. Putri keduanya itu lebih sering pulang saat senja terbenam dan langsung tidur cepat setelah makan malam.

“Alhamdulillah, Ma,” jawab Alida, cari aman, sambil menyandang ransel yang ia bawa.

“Semalam papa telepon. Katanya, kegiatan baru Alida jangan sampai mengganggu waktu belajar. Apalagi sampai bikin nilai Alida turun. Kalau nanti sampai turun, papa bisa marah. Izin Alida nemenin teman Alida itu belajar, bisa-bisa dicabut sama Papa.” Mama memandang Alida dengan saksama.

“Iya, Ma. Alida udah atur waktunya, biar nggak ganggu waktu Alida belajar. Lagian, Alida kan juga sekalian belajar. Insya Allah, nilai Alida nggak turun.” Alida mengulas senyum kilat. Dadanya berdebar. Ia meragukan ucapannya sendiri. Alida sudah tidak berharap nilai bagus. Baginya yang terpenting adalah dapat fokus belajar dan lulus! “Alida berangkat dulu, Ma.” Ia buru-buru menyalami tangan Mama. Sebelum Mama kembali memberikan pertanyaan.

“Alida nanti promosiin rendang Mama sama temannya, ya. Mama juga terima katering masakan Padang. Bilang gitu sama dia,” ujar Mama penuh semangat setelah Alida melepas tangannya.

Alida tak menjawab. Hanya satu jempol yang ia angkat pertanda sepakat. Bicara dengan Javas saja belum berhasil, bagaimana mungkin Alida menawarkan rendang Mama padanya? Huft! 

Gadis itu pun pergi sekolah, membawa beban hati yang penuh sesak, tak tahu harus dibagi kepada siapa. Batinnya masih tak henti bertanya, mengapa Javas memperlakukannya begitu buruk? Apa semua orang Javas perlakukan demikian? Apa pula yang harus ia katakan esok hari saat bertemu kembali dengan Javas? Bagaimana kalau Javas mengusirnya lagi? 

Alida bersedih dalam hati. Tak ada raut cerah, apalagi ramah di wajahnya. Kepala Alida sibuk berpikir, sekaligus menenangkan diri. Hari itu, rencananya akan Alida gunakan untuk menarik napas panjang, sebelum besok harus bertemu kembali dengan Javas.

“Alida!” Pak Dianang memanggil dari belakang, ketika Alida baru keluar kelas. “Gimana kemarin sama Javas? Dia mau belajar?” tanyanya, setelah tiba di hadapan Alida.

Alida menggeleng lemah. “Kemarin nggak belajar sama sekali, Pak. Kak Javas masih belum mau bicara sama saya.” Ia kemudian menatap sendu Pak Dianang. “Pak, saya sampai nggak bisa tidur mikirin sikap Kak Javas. Saya khawatir, saya nanti malah nggak bisa bel–”

“Al, nggak usah mikir macam-macam,” potong Pak Dianang cepat. “Dia sedang adaptasi sama kamu. Bapak yakin nggak butuh waktu lama.” 

“Kenapa Bapak bisa seyakin itu?” Alida mendelik.

“Karakter kamu yang bikin Bapak yakin. Kamu nggak usah terpengaruh sama sikap Javas. Justru, dia yang harus terpengaruh sama sikap kamu, sama kegigihan kamu, semangat belajar, rasa optimis kamu, semua yang ada sama kamu,” jelas Pak Dianang dengan keyakinan paripurna. Ia pun mengulas senyum.

“Tapi, Pak–”

Lihat selengkapnya