Teras luas dengan perabotan serba jati yang tertata rapi, dipercantik dengan halaman asri yang dinaungi beberapa pohon rindang, diiringi suara air mengalir kolam ikan dan sesekali kicauan burung pipit, menciptakan ketenangan yang menghanyutkan. Wajar jika kakak kelas Alida itu betah berlama-lama memandangi aneka bunga dengan beragam warna yang diatur sedemikian rupa.
Disertai kedua tangan yang mengepal di kedua sisi, Alida melangkah pelan mendekati Javas. “Halo, Kak Javas!” sapanya ketika sudah tiba di samping Javas. Alida berusaha keras menenangkan dirinya. Tekadnya sudah bulat. Javas harus berhasil ia taklukan!
“Gimana kabarnya?” Alida mengulas senyum manis. Meski ia tahu Javas tak akan menoleh padanya. “Aku bawa catatan baru buat Kak Javas.” Alida mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya, kemudian menaruhnya di meja.
Eyang Javas sudah duduk di sofa yang sama dengan kemarin, ditemani dua perawat laki-laki. Mengamati Alida dan Javas dari kejauhan. Tekanan batin yang Javas alami, dan percobaan bunuh diri yang sempat dilakukannya, membuat eyang Javas perlu memberikan penjagaan ekstra pada cucunya. Setelah menantunya meninggal, emosi Javas tak bisa ditebak. Ia lebih sering membisu. Bicara hanya ketika marah. Atau, jika suasana hatinya sedang baik. Kehidupan Javas pun cukup kacau.
Sementara, putranya-ayah Javas-tak memiliki banyak waktu untuk berada di rumah. Ia bekerja sebagai diplomat di Belarusia. Menetap di sana. Jarang sekali hadir atau meluangkan waktu untuk Javas. Setelah seminggu kematian istrinya, ia langsung kembali bekerja. Seharusnya, Javas ikut serta. Namun, Bu Rosy melarang putranya membawa sang cucu. Javas tak dekat dengan ayahnya. Hubungan keduanya pun tergolong buruk. Wanita lanjut usia itu akan melakukan apa pun agar semangat hidup cucu tertuanya itu kembali lagi!
“Kita mulai belajar yuk, Kak!” Suara Alida mengalihkan perhatian Bu Rosy. Ia betul-betul berharap Alida sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang.
Tak ada respon dari Javas. Membuat pandangan Alida bertemu dengan Bu Rosy. Alida tahu ia tak boleh cepat menyerah. Taruhannya besar!
“Kak Javas masih punya banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan, sebelum masuk semester 2.” Alida kembali bicara, ramah dan secerah mungkin. Ia sudah duduk di kursi yang disediakan. Bagian terbaiknya, tidak di sebelah Javas. Memudahkan Alida untuk menarik dan membuang napas tanpa khawatir terdengar kakak kelasnya.
Sambil membolak-balik halaman buku catatan, Alida menanti Javas menanggapinya. Menit demi menit berlalu, putra tunggal keluarga Samudera itu tak kunjung merespon. Menoleh pun juga tidak. Alida pun mulai membiasakan diri, meski sungguh sulit.
Alida pun tak sadar jika ekor mata Javas, selalu awas. Senyum manis Alida tertangkap olehnya. Javas benci menemukan senyuman itu! Untuk saat ini, pilihan Javas hanya mendiamkan Alida. Sekeras apa pun ia menolak kehadiran gadis itu, tak akan mengubah pendirian sang eyang. Alida sudah ditetapkan menjadi teman belajarnya. Setelah sekian banyak tenaga didik yang mundur teratur memberikannya bimbingan belajar. Termasuk, Pak Dianang. Tak ada yang sanggup membuat Javas bicara. Ia menyimpan lukanya rapat-rapat. Lagipula, memangnya ada yang betul-betul peduli dengan perasaannya? Eyang yang Javas kira peduli dengan dirinya, malah mendatangkan gadis yang membuat luka Javas makin terasa perih!
“Kak Javas.” Alida kembali memanggil dengan sabar. “Catatan kemarin, apa udah Kak Javas baca? Ada yang mau ditanyakan, nggak?” Ia masih berusaha tampak semangat, meski akal mulai habis.
Jujur saja, Alida paling malas membujuk orang. Adiknya sendiri yang masih SD kalau ngambek tak mau belajar, Alida diamkan. Ini malah orang lain dan baru kenal, yang harus Alida bujuk-bujuk supaya meresponnya agar mau belajar bersama? Benar-benar ujian kesabaran!
Alida mendengus pelan. Ia memilih diam sejenak untuk mengatur strategi. Beberapa saat kemudian, Alida kembali mengajak Javas bicara. Sayangnya, hingga gelap membentang di angkasa, tak juga membuahkan hasil. Ia pulang tanpa kemajuan apa pun. Javas masih tak bicara. Meski tidak mengusirnya. Namun, Alida tak mau pulang dengan tangan kosong! Ia harus mendapat informasi baru tentang Javas melalui Bu Rosy.
“Eyang, saya mau nanya lagi tentang Kak Javas,” ucap Alida antusias. Energi sabarnya sudah terkuras habis, tetapi Alida akan datang dengan membawa stok kesabaran baru. Rumusnya, ia tak boleh kalah dengan dirinya sendiri! Ia sudah mempertaruhkan masa depannya, dan tentu saja, ia bisa tidak dianggap anak oleh Papa kalau sampai tidak lulus UN!