Sepasang mata Alida memperhatikan kebersamaan Javas dengan Carla, si kakak kelas yang sudah diwanti-wanti para sahabatnya, bahwa seniornya itu cemburu se-dunia dengan Alida dan ia masih berupaya mendekati Javas dan akan berusaha melakukan apa pun supaya Javas kembali padanya.
“Bukannya Bu Rosy bilang kalau Kak Javas juga pendiam sama temen-temennya?” oceh Alida dalam hati, teringat apa yang pernah eyang Javas katakan padanya.
Tahu-tahu, Alida menepuk dahinya sendiri. “Ya ampun! Gue baru inget, tuh cewek mantan dia. Dan gue cuma teman belajar. Eh, lebih tepatnya bukan siapa-siapa.” Ia pun geleng-geleng tak sadar.
Bahasa tubuh Alida dimaknai lain oleh eyang Javas. Wanita lanjut usia itu sudah melangkah menuju sang cucu.
“Eh ada Eyang Rosy. Gimana kabarnya, Eyang?” Carla langsung berdiri, menyambut eyang Javas begitu bayangan wanita elegan itu mendekati sofa teras belakang, 10 langkah dari kursi tempat Alida saat ini sedang duduk. Mantan kekasih Javas itu lalu mengulurkan tangan kemudian mencium punggung tangan eyang Javas.
“Carla … kapan datang? Kok, Eyang nggak lihat kapan masuknya, ya?” sindir Bu Rosy halus, membalut pandangan tak sukanya dengan senyum ramah. Ia lalu melirik sekilas pada Javas.
“Carla baru aja sampai Eyang. Udah kangen banget sama Javas. Jadinya langsung masuk ke teras belakang waktu Bik Inah bilang Javas ada di sini.” Carla bicara tanpa merasa berdosa menyelonong masuk rumah orang.
“Oh gitu, pantas Eyang nggak tahu …–” Bu Rosy kembali menyindir. Ia kemudian menengok ke arah Alida yang masih memperhatikan mereka bertiga. “Tapi, Javasnya lagi belajar sama Alida. Carla bisa tunggu sampai Javas selesai belajar, baru kalian ngobrol?”
“Carla bisa-bisa aja nunggu Javas, Yang. Tapi tadi Javas langsung ngajak Carla duduk di sini. Kayaknya Javas juga udah nggak sabar mau ngobrol sama Carla.” Perempuan bertubuh cantik tinggi semampai itu lalu tersenyum manis ke arah Javas. Kemudian melihat puas pada Alida yang duduk sendirian di meja belajarnya bersama Javas.
Bu Rosy tersenyum tumpul. Ia tak tahu pasti apa yang terjadi di teras belakang rumahnya saat itu. Namun, satu hal yang ia ketahui pasti, Carla seringkali mencari perhatian dirinya. Mahasiswi semester 4 itu begitu menyukai Javas.
“Javas mau ngobrol sama Carla atau melanjutkan belajar sama Alida? Kalau nggak mau lanjut belajar, biar Eyang minta Alida pulang,” ujar Bu Rosy tenang, tetapi terdengar dalam dan serius. Ia sedang menguji Javas.
Carla menunggu jawaban Javas lamat-lamat. “Kalau sampai Javas milih tuh cewek kampungan, gue bakalan bikin dia jera!” kecamnya dalam hati.
Pandangan Javas langsung melesat melihat Alida yang sudah tak lagi memperhatikan dirinya dan Carla. Gadis manis itu sedang tekun menulis. Seolah tak terganggu dengan kehadiran Carla dan sikapnya yang jelas-jelas menunjukkan tak mau belajar.
“Javas belajar sama Carla aja Eyang. Carla masih inget kok pelajaran kelas tiga SMA. Carla juga bisa nemenin Javas belajar sampai lulus!” Carla menyahut riang. Namun, senyumnya seperti tersedot ke ruang hampa begitu menemukan Javas sedang serius memandangi Alida. Tatapan yang jarang ia dapatkan dari Javas. Bahkan ketika masih menjalin hubungan pun Javas jarang sekali memperhatikan Carla, atau hanya sekadar untuk berlama-lama memandanginya, tidak pernah!
“Gimana, Javas? Kamu mau belajar sama siapa?” Bu Rosy masih bersuara tenang dan ramah, membuat Javas kembali melihat neneknya itu.
“Suruh aja dia pulang,” balas Javas datar. Sambil memutar kursi rodanya agar membelakangi Alida, ekor matanya melirik Alida si cinta pertama. Lebih cepat Alida berhenti jadi teman belajarnya, akan lebih baik. Javas tak akan kembali tersiksa dengan luka hati dan kenangan bunda ketika membicarakan Alida.
Carla nyaris melompat senang, ia pun bertepuk tangan tanpa suara. “Ya, ampun Javas! Ternyata kamu sekangen itu sama aku ya, Jav?” Wajahnya merona penuh bahagia. Setelah berhari-hari tak jumpa, ada kemajuan sikap Javas padanya.
Gerakan Carla menarik mata Alida. Ia pun melihat sebentar apa yang terjadi di sofa.
Sambil melihat Javas, diam-diam Bu Rosy menghela berat napasnya. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. “Apa nggak nanggung? Masih ada satu jam lagi untuk belajar sama Alida? Setelahnya kamu bisa belajar sama Carla.” Bu Rosy mengubah strategi. Cucunya yang paling tua ini betul-betul keras kepala dan gengsinya tinggi selangit! Tak menyangka, Javas lebih memilih bersama perempuan yang tak ia sukai ketimbang gadis yang hanya menolaknya.