Setelah melihat bagaimana Javas memperlakukan Carla, secercah keyakinan muncul dalam benak Alida jika Javas dapat juga melunak padanya. Alida pun berencana menggunakan strategi lain yang belum ia coba untuk meluluhkan Javas.
Di kala mata ayam belum ada yang terbuka apalagi berkokok, Alida sudah terbangun. Ia pun berjingkat menuju pintu kamar, lalu membukanya secara perlahan menyisakan sedikit celah. Secara bergantian satu per satu matanya mengintip ke luar. Tampak ruang tivi belum terjamah dari manusia penghuni rumah yang masih terlelap. Lampu-lampu ruangan lain pun juga masih mati, hanya ruang tengah yang dibiarkan menyala.
Dengan hati-hati Alida membuka lebar pintu kamar. Lalu berjalan menuju dapur.
“Sedih banget nggak sih, gadiah minang tapi nggak bisa masak rendang?” racaunya pelan sambil membuka tutup wajan yang sengaja mama simpan di atas kompor.
Ia berdiri di depan wajan berukuran sedang berisi rendang. “Harusnya gue yang masak. Bukan mama,” sesal Alida, baru menyadari mengapa mama sering berkicau tentang perempuan minang yang harus pandai memasak. Kalau sedang dalam kondisi darurat seperti sekarang ini, pasti tak perlu lah Alida meminta mama memasak ketika kondisi kesehatan mama masih belum sehat betul.
“Rendangnya dipanasin dulu sebelum dibungkus, Al,” ujar mama dengan suara serak, sambil berjalan menuju Alida.
Alida memutar tubuhnya. Mama muncul dengan telekungnya. “Ah, iya jam segini mama pasti udah bangun buat sholat malam,” batinnya. “Iya, ini mau Alida panasin. Alida kira Mama nggak jadi bikin rendangnya,” ucapnya kemudian.
“Jadi. Kemarin kakak yang bantuin Mama masak. Kakak semangat banget dia bantuin Mama pas tahu teman belajar Alida itu mau pesan rendang Mama,” ujar Mama antusias. Mata sembab Mama sehabis mengadu pada Rabb-nya, tenggelam dalam binar penuh semangat. Senang mendapatkan klien baru.
Alida kembali memutar badannya ke hadapan kompor. Ia menarik napas panjang diam-diam. Alida terpaksa berkata kurang jujur pada mama, agar dapat membawa rendang untuk Javas. Mama pun tak tahu kalau rendang itu Alida pesan bukan karena ada teman Alida yang membeli, tetapi karena untuk dijadikan tester!
Sambil mengaduk-aduk tiga kilo daging rendang, saraf-saraf dalam kepala Alida bekerja lebih keras untuk mempersiapkan diri, bahwa setelah rendang itu diberikan pada Javas, ia harus mencari uang untuk membayar modal memasak rendang yang mama keluarkan.
Dapur di pagi jam tiga itu sepi. Semua anggota keluarga belum bangun kecuali mama. semuanya masih berlayar di samudera mimpi, setelah semalam membantu mama masak. Sedangkan Alida sitekor, sudah lebih dulu melayang-layang di negeri kapuk super empuk. Telinganya pun sudah tersumpal sampai tertutup. Mama yang memanggil minta bantuan pun tak terdengar olehnya. Alhasil, pagi itu Alida harus mencuci seluruh piring dan peralatan masak yang kotor. Apalagi mama kalau masak rendang bumbu serbag tradisional, alias minim menggunakan teknologi macam blender. Termasuk santan sachet. Dapur benar-benar bak medan seusai dipakai bertempur, dan membersihkannya termasuk tugas Alida pagi buta itu.
Dua puluh potong untuk Javas sudah masuk ke dalam tas tenteng Alida. Hanya rendang saja, tanpa nasi ataupun gulai cubadak, daun singkong apalagi sambal ijo.
“Al, usahain teman Alida itu jadi langganan ya. Kalau masak rendangnya aja, Mama masih kuat. Kalau sama nasinya itu yang bikin mama nggak kuat kalau masak sendirian,” ucap Mama berusaha tampak semangat di wajahnya yang masih sembab dan terlihat pucat.
Mama Alida pulang baru pulang dari study tour kemarin. Kondisi kesehatannya menurun. Namun, ketika Alida mengirim SMS mengingatkan mama kalau ada temannya yang menunggu rendang mama, mama pun berusaha untuk tetap memasak meski harus bolak-balik duduk dan akhirnya setelah bumbu masuk seluruhnya ke dalam kuali, kakak yang ambil alih memasak.
“Iya, Ma. Nanti Alida coba bujuk dia supaya mau langganan rendang Mama.” Alida lalu pamit berangkat sekolah. Perasaannya tak enak. Mama sampai bela-belain memasak untuknya, sementara Alida bahkan tak tahu pasti akankah Javas mau bicara dengannya berkat rendang mama yang ia bawa.
Perasaan tak enak itu makin menguasai Alida tatkala jam kepulangan berbunyi.
“Alida! Lo mau kita-kita anterin ke rumah Javas?” Alida menoleh pada teman-teman satu geng yang satu per satu masuk ke dalam kelas.
“Muka lo pucat banget dari tadi pagi, Al. Kawatir gue lo kenapa-kenapa di jalan.” Hani menambahkan.
“Gue kurang tidur doang. Kayaknya mau datang bulan juga.” Alida sudah menyandang tasnya.
“Ya udah kita anterin. Anak-anak pada mau nongkrong di rumah Fany sambil ngerjain tugas matematika.” Anggi si paling tinggi bak model busana itu lalu merengkuh Alida.
“Tumben banget lo semua mau nganterin gue?” tanya Alida sambil melirik satu per satu anggota gengnya yang lengkap.
“Kita semua khawatir sama lo Alida. Apalagi udah sebulan lebih lo nemenin si Javas belajar tapi belum juga ada kemajuan.”
“Ya, nanti pasti ada kemajuan lah. Namanya baru adaptasi.” Alida menyejukkan hatinya yang sangsi dengan ucapannya sendiri. Meski amunisi untuk meluluhkan Javas sudah ia bawa dalam tas.
Satu geng berjumlah tujuh orang itu lalu berjalan kaki menuju rumah Fany yang nanti melewati kediaman Javas. Mereka membicarakan banyak hal. Terutama tentang study tour untuk siswa kelas tiga yang akan dilaksanakan satu bulan lagi. Sementara isi kepala Alida penuh dengan kata-kata yang sedang ia untai, bagaimana amunisi yang dibawanya berhasil menghujam jantung Javas, lalu luluh lantak lah pertahanan si pentolan tawuran!
“Eh, Al! Diajak ngobrol malah bengong!” tegur Anggi.
“Nggak bengong. Gue denger lo semua ngomong.”