Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #13

Pemandangan Menyakitkan

Alida berjalan gontai menuju halaman. Memunguti satu per satu daging rendang yang sudah bercampur dengan serpihan kaca, juga tanah. Hatinya pilu. Matanya mengembun. Bulir-bulir panas sudah siap berjatuhan kembali. Sama persis seperti awan kelabu yang menggantung di langit sore saat itu.

Bu Rosy dan Bik Inah yang berlarian dari dalam rumah menuju teras belakang, berpencar mendatangi Alida dan Javas. Bik Inah membantu Alida mengambil daging yang berserakan. Sementara, Bu Rosy mendatangi Javas dengan perasaan tak keruan. Cucunya itu sedang memperhatikan Alida memungut makanan favoritnya. Napasnya memburu, kedua tangannya mengepal kuat. 

Bukan. Bukan Javas mengamuk karena Alida. Namun, karena ia sudah tak kuat lagi menghadapi gadis manis yang selalu datang dengan wajah penuh senyuman, lalu menyapanya dengan ramah. Hari itu, ketika Alida menawarkan kembali sesuatu yang Javas suka, kenangan pertama kali ia berhadapan dengan Alida kembali menari-nari manis dalam kepala. 

Kenangan yang Javas rindukan selama dua tahun belakangan. Kenangan yang selama ini Javas kira hanyalah pemanis hidupnya dan tak akan pernah terulang, karena Alida tak akan pernah memberikan kesempatan pada laki-laki yang tak punya masa depan sepertinya.

Hingga akhirnya sesuatu yang dirindukan itu datang begitu saja, tanpa Javas melakukan apa pun. Tembok kokoh yang Javas jaga sedemikian rupa pun luluh lantak dengan mudahnya. Inilah yang Javas takutkan, yang membuatnya tidak pernah siap berhadapan dengan Alida.

Javas sudah terbiasa menyimpan perasaannya. Tak mengapa baginya menjadi pengagum rahasia Alida. Javas akan lebih bebas merawat taman hatinya. Tak akan ada harapan yang melambung tinggi. Tak akan ada pula rasa sakit yang dikhawatirkan akan terjadi.

Javas belum pernah memiliki perasaan seperti ini pada perempuan, selain pada mendiang bunda dan eyang. Kedua perempuan itu miliknya, dan begitu pula sebaliknya. Javas dapat bebas mengekspresikan dirinya. Menampakkan segala sisi diri yang ia miliki. Tanpa ragu dan takut akan ditinggalkan apalagi dicampakkan. Namun, Alida? Ayahnya saja tak pernah menganggapnya ada di dunia ini. Apalagi Alida yang hanya orang asing dalam hidupnya!

“Javas, apa yang sudah kamu lakukan?” Bu Rosy tiba di samping Javas,  memandangi wajah merah sang cucu yang tak mau menatapnya. “Apa kamu sekarang membenci Alida? Kamu memang sudah yakin nggak mau ditemani belajar sama Alida lagi?” 

Javas memalingkan mukanya dari sang eyang. Perasaannya berkecamuk hebat. Ia bahkan tak mampu menjelaskan apa yang terjadi. Javas hanya tahu ketakutan sedang memeluk hebat dirinya! Setahun ia mencoba bangkit, merelakan kepergian bunda. Kini, kehadiran Alida membuat rasa takut akan kehilangan, hadir dengan sendirinya.

“Javas …-” Bu Rosy menarik napas dalam-dalam. Apa yang Javas lakukan sudah masuk dalam pertimbangannya, sebelum membuat kesepakatan dengan Alida. Tapi, Bu Rosy tak percaya Javas akan bereaksi sekeras dan sekasar ini pada gadis yang sudah merebut hatinya.

“Nggak ada satu hal pun yang terjadi di dunia ini, karena kebetulan. Semua kejadian sudah didesain oleh Sang Pencipta. Termasuk pertemuan kamu dan Alida. Apa kamu mau memikirkan tentang hal itu? Memikirkan kenapa Alida yang datang ingin jadi teman belajar kamu? Bukan teman-teman kamu yang sering datang ke sini? Bahkan, nggak ada satu pun dari mereka yang serius mau belajar sama kamu.” Bu Rosy bicara pelan, penuh harapan. Ia hanya tak mau sang cucu menyia-nyiakan kesempatan, lalu berakhir pada penyesalan hebat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Belum sempat Javas menjawab, Alida muncul di hadapannya sambil memegang makanan yang sudah tak layak dimakan.

“Kak Javas–” Suara Alida mengalihkan Javas dan Bu Rosy. Gadis itu menatap lurus kakak kelasnya, dengan tatapan sendu. Air pun masih menggenang di pelupuk matanya. “Kalau Kak Javas nggak mau makan rendang yang aku bawain, Kak Javas bisa bilang. Nggak perlu sampai membuangnya.” 

Alida menarik napasnya dalam-dalam sampai bahunya terangkat. Ia lalu membuang napasnya secara perlahan, diakhiri mengulas senyum tipis yang menambah pilu di wajahnya, mengiris perih hati Javas. Membuat Bu Rosy iba. 

“Kalau aku ada salah sama Kak Javas, aku minta maaf. Kak Javas bisa bilang sama aku, salahku di mana. Biar bisa aku perbaiki.” Air mata Alida meluruh. Namun, cepat-cepat ia hapus dengan punggung tangannya. 

Melihatnya, membuat Javas terluka. Sesal merobek kuat jantungnya! Rahangnya mengeras. Sudah siap berteriak. Ia belum siap dengan apa pun yang sudah disiapkan Sang Pencipta untuknya. Terutama rasa cinta yang kembali menyala dan membuat hidupnya sedikit banyak berwarna sejak ada Alida. 

Bu Rosy hanya bisa terdiam. Menyadari penuh, Alida berada di titik luka paling tinggi. Usahanya dari hari pertama, hingga saat itu, hanya sia-sia belaka. Sang cucu tak memberikan celah sedikit pun untuk Alida menjadi teman belajarnya.

“Banyak orang nggak bisa makan. Ada juga yang harus bersusah payah dulu baru bisa menyantap makanan enak.” Alida lalu beranjak menuju keran halaman. Hendak mencuci daging-daging yang sudah ia ambil. Namun, Bik Inah segera mengambilnya. Lalu membawa dua puluh potong daging itu ke dapur. Mencucinya di sana.

Sedangkan, Alida beralih menuju seperangkat alat tanam untuk praktek menanam pelajaran biologi hari itu. Geledek pelan dan petir yang mengintip dari balik awan mulai menghiasi langit gelap. Alida berusaha untuk tidak menangis. Tapi hari itu begitu kelabu. Sesekali air matanya berlinang. Namun, tangannya tetap cekatan menyiapkan media tanam dan beberapa benih yang hendak ditanam.

Javas sudah tak sanggup. Ia tahu tak perlu sekejam itu pada Alida. Ia hanya takut dicampakkan. Takut taman hatinya dibinasakan karena sebuah kepergian hanya karena label tak punya masa depan. Javas berdiri dari kursi rodanya, lalu menyambar kruk di samping meja. Ia pergi meninggalkan halaman belakang. 

Kepergian bunda, membuat emosi Javas mudah naik turun. Satu sisinya mendesak agar segera mewujudkan janjinya pada mendiang bunda. Namun, di sisi lain, kaki ringkih yang baru tegak dari keterpurukan itu bertemu dengan manusia yang padanya tersimpan kelemahan Javas. Ya, Alida kehadiran Alida dapat melesatkan potensi Javas, atau mengubur jiwa raganya dalam tanah!

“Alida, maafkan Javas, ya.” Bu Rosy menghampiri Alida yang sudah selesai menanam benih sayuran dan buah untuk bahan pengamatan praktikum biologinya dan Javas. 

Gadis itu berhenti di depan meja. Memandang Bu Rosy dengan saksama. “Eyang, apa Kak Javas ada cerita sama Eyang, saya pernah melakukan apa sampai sikap Kak Javas seperti itu ke saya?” tanyanya dengan wajah sembab.

Bu Rosy semakin iba. Hati dan kepalanya berpikir keras bagaimana dua muda-mudi ini dapat bicara dari hati ke hati. “Nggak ada yang salah sama Alida. Javas cuma kaget aja lihat Alida bawa makanan kesukaannya. Nanti Eyang bicara sama Javas. Biar kalian bisa cepat-cepat belajar bersama.” Bu Rosy berusaha tak bohong, juga tak jujur.

Lihat selengkapnya