Awan gelap menggantung rendah, aroma tanah basah masih menguar, sinar mentari yang tak leluasa menyinari bumi, udara dingin khas sehabis hujan, menjadi latar pagi hari itu. Sehari setelah Javas melihat tangis eyang pecah. Tangis yang sama ketika ruh bunda dinyatakan telah lepas dari dari raga. Tangis yang sudah tak pernah Javas lihat setahun lamanya.
Laki-laki yang kini sudah tak lagi menggunakan kursi roda itu, duduk termenung di teras belakang. Spot favoritnya untuk tenggelam dalam kesendirian, mengulang kenangan demi kenangan bersama orang tersayang. Kali ini, perkataan eyang yang disampaikan sambil diiringi tangisan, sukses membuat pikiran Javas berantakan!
Pandangan Javas lalu beralih pada keranjang putih tempat buah-buahan yang sering ia jumpai di supermarket. Keranjang itu berisi dua belas pot kecil yang kemarin Alida gunakan untuk praktik mata pelajaran biologi. Ada beberapa jenis benih sayuran yang Alida tanam di sana. Javas menarik napas panjang nan dalam.
Melihat keranjang itu seperti ada sosok bunda dan Alida sedang berkebun bersama penuh senyum dan tawa. Dua perempuan yang biarpun sudah disakiti, masih mampu menorehkan senyuman di wajahnya. Masih pula bersikap ramah dan tak memandang sebelah mata. Jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Javas pun sebenarnya tak mampu mengelak ketulusan sikap Alida padanya.
Masih di tempat yang sama, kenangan memilukan ketika ayah menendang keranjang berisi bibit-bibit tanaman yang bunda tanam, juga berputar secara bersamaan.
Javas kembali menarik napas dalam-dalam. Kalbunya pun seperti dicubit oleh kata-kata sang eyang yang diucapkan di kala menangis tersedu-sedu.
“Maaf, Alida,” lirihnya dalam hati. Kedua tangannya mengepal kuat. Hatinya berkecamuk hebat. Sesal membuat dadanya sesak! Ia tahu ada pilihan lain agar eyang segera memisahkannya dari gadis yang ia puja. Sayang, ketakutan akan hati yang rapuh itu kembali tersakiti, membuat Javas memilih jalan pintas. Jalan yang membuatnya tak perlu banyak berinteraksi dengan Alida.
Sudah terlalu lama Javas tenggelam dalam kesedihan. Setiap kali ingin bangkit dari keterpurukan, tiap kali itu pula anggapan tak berguna dan tak memiliki masa depan, merenggut semangatnya. Ucapan ayah yang menyakitkan pun seakan membenarkan semua perkataan orang. Bahwa memang tidak ada gunanya Javas lahir ke dunia. Hingga keinginan mengakhiri hidup sering menghantui mantan atlet basket sekolah itu.
Hanya mendiang bunda dan eyang yang berhasil merawat Javas hingga sebentar lagi usianya menginjak 20 tahun. Meskipun, Javas banyak kekurangan dan sikapnya bukan hanya mengurut dada, tetapi juga membuat malu nama keluarga, tak sekalipun mendiang bunda ataupun eyang menghardik Javas dengan kata-kata yang menyakitkan.
Kedua tangan perempuan yang Javas sayang itu selalu terbentang lebar menerima maaf dan memeluk erat dirinya, sembari berbisik lembut penuh doa dan harapan, agar kelak Javas menjadi laki-laki yang penuh kasih sayang, bersikap lembut pada perempuan dan mampu menjadi suami yang baik pada istri juga ayah teladan bagi anak-anaknya kelak. Doa yang tak pernah lelah untuk dilantunkan.
Javas menghirup lamat-lamat udara pagi beraroma tanah basah. Begitu menenangkan hingga matanya ikut terpejam. Isi kepalanya masih memutar kejadian kemarin. Menyusun urutan demi urutan kronologis mengapa tangis eyang bisa pecah.
Sementara, ia sudah berjanji akan terus berupaya membahagiakan satu-satunya manusia yang menyayanginya dengan tulus. Wanita berusia senja yang bisa kapan saja Sang Pencipta cabut ruhnya.
Mengingat berapa umur eyangnya, Javas segera mengambil kruk yang bersandar di sandaran kursi, lalu berdiri. Sepasang matanya kemudian melihat jam pada pergelangan tangan, lalu beralih cepat melihat sekitar. Hari sudah hampir pukul delapan pagi. Biasanya, jam tujuh eyang sudah sibuk wara-wiri di halaman belakang. Memeriksa sejumlah tanaman di green house, kemudian menyiramnya. Biarpun hujan turun semalaman, eyang pasti akan menyempatkan melihat koleksi bunga anggreknya yang disimpan di rumah kaca di pojok halaman belakang.