Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #20

Kita

“Iya, dokter mau memeriksa beberapa ha. Nanti darah kamu diambil–” Bu Aisya menjawab namun terpaksa berhenti.

“Ambil darah? Disuntik dong?” potong Alida dengan raut seperti orang kehilangan masa depan. Ia sangat takut dengan jarum suntik! Alida tak pernah mau sakit, atau kelihatan sakit. Itu semua karena tak mau kalau sampai ada jarum yang menusuknya!

“Iya, cuma ambil beberapa cc aja kok.” Seorang suster masuk, mengambil alih jawaban Bu Aisyah. Ia lalu membuka tirai. Mempersilakan seorang perawat lagi mendorong troli berisi peralatan untuk mengambil darah dan beberapa alat lainnya.

“Saya nggak mau, Bu.” Alida menatap satu per satu perawat, lalu berpindah ke Bu Aisyah, dan berakhir pada Javas. Ia memberikan kembali tatapan minta tolong, yang membuat Javas jadi terguncang! Entahlah tatapan Alida seperti orang yang sedang melihat malaikat mau.

“Lo takut banget sama jarum?” Javas prihatin.

Alida masih tercengang tak terima. Ia dibawa ke rumah sakit saja sudah tidak suka. Apalagi waktu menemukan tangannya sudah ditusuk jarum! Lalu sekarang tusukannya mau ditambah!

Belum sempat Alida menjawab, seorang suster bicara. “Nggak sakit, kok. Rasanya kayak digigit semut.”

Oh, itu adalah kalimat obralan para suster yang ingin menyuntik Alida. Ia sudah hafal dengan kata-kata itu.

“Nggak mungkin. Pasti sakit!” tolak Alida berusaha kembali melihat Javas, berharap kakak kelasnya itu mau menolongnya.

“Sedikit aja sakitnya. Biar segera ketahuan ada sakit apa, sampai pingsan. Nanti boleh peluk saya.” Sang suster memberi aba-aba pada temannya. Satu jarum pun sudah dipersiapkan. Tisu alkohol pun sudah dioleh pada lengan Alida.

“Saya pasti teriak, Sus!”

“Nggak apa-apa.”

Alida lalu memasukkan selimut yang tadi menutupi tubuhnya sampai dada, ke dalam mulut.

Si gadis berteriak sekuat tenaga dengan satu tangan hampir mencekek leher perawat yang tadi bilang boleh memeluknya. Matanya terpejam. 

Javas makin tak tega melihatnya. Ia tak menyangka akan melihat Alida dalam situasi seperti ini. Teriakan penuh ketakutan itu tertancap dalam ingatannya.

“Tenang, ya. Jangan tegang. Tangannya dilemesin.”

Alida membuka mata. Bersamaan dengan perawat yang mengambil lengan Alida yang lain. Sayangnya, tangan yang sedang diiinfus! 

Pandangan Alida langsung tertuju pada jarum suntik. “Loh? Kok nggak ada darahnya, Sus?” 

“Iya, kenapa bisa begitu, Sus?” Bu Aisya menambahkan.

“Kalau tegang, darah merahnya bisa nggak keambil. Mbak Alida harus rileks, tangannya mengepal tapi jangan tegang banget. Tarik napas dulu, yuk.” Suster mengajak Alida menarik napas.

Ketakutan Alida pun bertambah parah. Sudah ada satu jarum menusuknya, kini mau ditambah satu lagi?

Teriakan Alida menggelegar di dalam kamar!

“Rileks, jangan tegang.” Suster kembali mengingatkan. “Sabar, ya. Sedikit lagi.” Suara sang suster yang berkata sedikit lagi, membuat Alida sedikit lega. 

Pelukan si gadis mengendur sedikit. Air matanya menitik. Dalam hati, Alida merasa berhasil mengalahkan rasa takutnya untuk 50 cc darah merah.

Siswi teladan itu pun jatuh lemas setelah darahnya selesai diambil. Bu Aisyah dengan telaten membantu Alida minum air putih.

“Ibu tinggal sebentar, ya. Nanti ada rapat di sekolah. Ibu harus siap-siap.” Bu Aisyah melihat jam berwarna silver di pergelangan tangan. Tadi ia sudah menyampaikan hal tersebut pada Javas. Kepala sekolah meminta Bu Aisyah kembali ke sekolah setelah mendapatkan kabar dari gurunya itu mengenai kondisi Alida.

Ruangan besar itu kini sepi. Alida memilih meringkuk. Hari itu adalah hari pertama ia menstruasi. Pikirannya kusut luar biasa. Memikirkan bagaimana nasibnya setelah keluar dari rumah sakit nanti. 

Javas masih setia duduk di bangku samping brankar. Ia memperhatikan Alida yang sedang termenung hingga akhirnya tertidur, saking letihnya berteriak sekuat tenaga. 

Hati Javas cukup membuncah siang itu, ketika Alida memilih memiringkan tubuh ke arahnya, bukan membelakanginya. Bahasa tubuh si pujaan hati bagai pertanda jika Alida tak menolak kehadirannya di sana. Javas pun puas memandangi wajah tidur Alida dari dekat. 

Javas menggunakan instingnya untuk membawa Alida ke rumah sakit. Meski ia tak pernah lagi mau menginjakkan kaki di sana. Namun, Alida yang pingsan dan pertanyaan eyang yang ingin sekali Javas tahu apa jawabannya, mengalahkan rasa tidak suka yang sudah bercokol lama dalam kepala.

“Kak Javas–” Alida bangun. Kepalanya yang penuh membuat tidurnya tak nyaman, meski hampir tiga jam berlalu. Hasil Lab pun sudah keluar, sampai Javas sempat berdiskusi dengan dokter yang menganalisa hasil tes darah Alida.

“Ya?”

Lihat selengkapnya