Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #21

Aneh

Sejak siuman, lalu bicara dengan Javas, sampai akhirnya selesai makan siang, listrik-listrik dalam tubuh Alida makin banyak mengalami korslet parah! Ia sampai mempertanyakan kemampuannya berbahasa Indonesia. 

Kata-kata dalam kalimat Javas, sepanjang obrolan mereka, bukanlah istilah-istilah ilmiah yang memerlukan Kamus Besar Bahasa Indonesia agar Alida dapat mengerti apa artinya. Hanya saja gadis yang sudah kembali mengantuk itu merasa, ada makna lain dalam seluruh ucapan kakak kelasnya. Ada sesuatu yang tak tersirat, dan membutuhkan penerjemah atau penafsir untuk membantu Alida memahami apa maksud Javas sebenarnya.

Pening dengan segala tanya atas keanehan sikap Javas, ditambah bertemu kasur rumah sakit yang empuk dan dinginnya air conditioner yang pas, Alida pun terlelap dengan perut yang sudah terisi.

Javas sengaja tak mengajak Alida bicara setelah mereka makan siang. Supaya si gadis dapat beristirahat, sekaligus Javas mengistirahatkan sejenak jantungnya yang mulai ngos-ngosan saking aktifnya memproduksi bunga-bunga indah di taman hatinya. Javas pun memilih duduk di sofa, sambil menulis sesuatu di buku tulisnya. 

Hari itu sungguh di luar prediksi Javas. Masuk sekolah hari kedua karena ia tahu akan berolahraga bersama sang pujaan hati. Rasa takut akan kedekatan dengan Alida, sebenarnya, masih bersembunyi di balik relung hati Javas. 

Namun, tangis eyang yang pecah akibat ulahnya, menyentak Javas cukup kuat. Ia mendapatkan dorongan untuk menerjang rasa takutnya, jikalau, Alida bisa saja membenci atau bahkan tak pernah menganggapnya ada di dunia ini. Sama seperti yang ayah lakukan.

Mengingat orang tuanya yang satu itu, kepala Javas mendongak. Pandangannya langsung tertuju ke jendela kamar yang sengaja disingkap tirainya. Hari sedang hujan di luar. Tak begitu deras. Namun, awan gelap menggantung rendah seakan sedang mempersiapkan air yang lebih banyak lagi untuk diturunkan ke bumi. 

Matanya lalu memeriksa waktu di pergelangan tangan. Sudah menjelang pukul tiga. Pandangan Javas pun berpindah pada Alida yang sedang meringkuk di dalam selimut. Betul-betul seperti tuan putri kecil, dan Javas adalah penjaganya. 

Laki-laki berusia 20 tahun itu mengulas senyum tipis. Ia menyukai keadaan ini. Keadaan di luar nalar yang cukup menghangatkan jiwanya yang sudah lama ia kekang. 

“Apa jadinya kalau eyang nggak berusaha nyadarin gue? Lo pasti nggak akan ada di sini. Sama gue,” batinnya membuncah. 

Ternyata menghabiskan waktu bersama pujaan hati tak semenyeramkan yang Javas kira. Berbekal kalimat penyemangat dari sang eyang, Javas pun sudah mempersiapkan dirinya. Jika ternyata ia tak akan pernah masuk ke dalam kriteria laki-laki idaman Alida. Paling tidak, Javas sudah memenuhi janji pada bunda agar memperlakukan Alida dengan baik.

Teringat hari itu akan menjadi pertemuan terakhir dengan Alida sebagai teman belajar, Javas pun buru-buru menelepon Pak Arief, agar merahasiakan keberadaannya dengan Alida saat ini. Ia sedang mengulur pertemuan eyang dengan Alida.

Javas menghela napas. Sesal kembali memeluk dirinya. Berharap masih ada kebersamaan dengan Alida esok hari. Entah dengan menjadi teman belajar di rumah ataupun hanya sekadar menjadi teman di sekolah.

Ia kembali melanjutkan apa yang tadi ditulisnya. Mengerjakan tugas yang dulu Alida tuliskan untuknya. Meski buku-buku berisi tulisan Alida sudah jadi abu. Javas tak kehilangan akal untuk menunjukkan pada Alida bahwa ia ingin belajar bersama. 


***


“Kak Javas,” panggil Alida, lemah. Ia sedang berusaha mendudukan tubuhnya di brankar. Menstruasi hari pertama betul-betul menyakitkan. Alida cukup lega jika cairan merah itu tak banyak keluar saat itu.

“Alida?” Javas segera menutup buku yang sedang ia tulis. Kemudian bergegas mendatangi si gadis. 

Harusnya mereka tak berdua saja dalam ruang rawat inap itu. Namun, Pak Arief memilih menunggu di ruang tunggu. Alida tak perlu sampai menginap kata dokter. Tadi dokter sudah visit dan mengizinkan Alida pulang meski tekanan darahnya masih rendah. Dokter juga dengan memberikan surat rekomendasi untuk Alida melakukan transfusi darah. 

“Aku baru inget kalau hari ini nggak sekolah–” Alida terlihat cemas.

“Sekolah udah tahu lo sakit. Bu Aisyah yang bilang ke guru-guru,” balas Javas sambil mencerna apa yang sedang dipikirkan Alida.

Gadis berwajah pucat itu sedikit merenggut. “Nanti papa mamaku tahu, gimana?” Alida menatap Javas dengan tatapan takut juga bingung.

“Nggak usah dipikirin. Nggak akan ada yang ngasih tahu,” ujar Javas tenang. Meski dalam hati jadi bertanya-tanya. Sudah beberapa kali membicarakan tentang orang tua, reaksi Alida seperti orang ketakutan.

Alida diam. Ia tak bisa semudah itu membagi keresahannya pada Javas. Alida sendiri belum tahu apa sebab Javas berubah super kilat. Tapi, bukan itu yang membuat Alida jadi kepikiran.

Lihat selengkapnya