Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #22

Cemburu

Seharian bersama Javas, dilanjutkan dengan pagi kembali bersamanya, membuat Alida makin merasa aneh dengan kedekatan mereka yang terasa cepat? Atau, ada yang ia lewatkan?

Sepanjang jalan dari Pasar Jumat, menuju Cipete, Alida dan Javas tak banyak bicara. Laki-laki itu tertidur setelah melewati lampu merah Pondok Indah. 

“Kak Javas tidur, Pak?” bisiknya sepelan mungkin pada Pak Arief.

“Iya, Mbak. Semalam begadang ngerjain tugas,” sambut driver yang sudah bekerja pada Bu Rosy jauh sebelum bunda dan ayah Javas menikah.

Beberapa lipatan terbentuk di kening Alida. “Ngerjain tugas?” ulangnya pelan, sembari berpikir. Ada benang kusut dalam kepalanya yang minta diluruskan. Alida terdiam sepanjang jalan. Merangkai puzzle demi puzzle hal-hal baru yang ia temukan sejak kemarin.

Sepasang mata Alida menerawang ke langit pukul setengah tujuh. Cuaca pagi itu betul-betul cerah. Langit biru Jakarta yang tak biasa. Awan-awan kumulonimbus berwarna putih terbang tinggi di angkasa. 

“Apa semangat belajar Kak Javas udah balik lagi?” batin Alida bertanya-tanya. “Oh, jadi kalau udah semangat belajar, sisi baiknya ikutan balik juga?” racaunya dalam hati, mencoba menerka ada apa gerangan dengan sang pentolan tawuran. Sesekali mata Alida melihat ke jok depan, tempat Javas duduk. Kepala merebah ke sisi kiri dan hampir mengenai pintu.

“Kak, bangun kita udah sampai,” ucap Alida pelan, ketika Lexus hitam yang dikemudikan Pak Arief berbelok ke jalan sekolah.

Javas masih belum sadar. Ia baru bisa tidur jam tiga pagi. Bukan. Bukan memikirkan Alida. Tapi sedang berusaha menghentikan eyang dari mengakhiri kesepakatannya dengan sang pujaan hati. Bisa saja Javas menyampaikan langsung pada eyang agar membatalkan rencananya. Namun, Javas sudah kenal betul eyangnya. 

“Kak Javas.” Alida kembali memanggil, sambil melihat bingung pada Pak Arief yang melepaskan seat belt.

“Permisi Mbak Alida. Ada telepon dari Bu Rosy. Saya mau turun dulu.”

Mata Alida terbelalak sempurna. Kenapa Pak Arief tidak membantunya dulu?

“Kak, bangun yuk. Kita udah sampai sekolah,” ucap Alida masih bicara pelan-pelan. Matanya lalu melirik jam putih digital di pergelangan tangan. Lima menit lagi bel berbunyi.

“Kak, ayo bangun! Bentar lagi gerbang sekolah ditutup.” Alida mulai frustasi. Mau ditinggalkan saja tapi tak enak. Ia mencari di mana keberadaan Pak Arief. Namun tak ditemukan keberadaannya.

Tiga menit menjelang gerbang ditutup. Dua orang penjaga sekolah sudah standby di depan gerbang berwarna cokelat jingga itu.

Alida lalu mengambil selembar tisu di mobil, lalu memilinnya sampai mengerucut. 

“Kak, ayo bangun!” seru gadis berkacamata itu dengan nada gemas dan hampir putus asa, sembari menjulurkan tubuhnya ke jok Javas, memasukkan ujung tisu dipilin ke lubang hidung sang penguasa sekolah.

Kedua tangan Javas menghalau-halau masih dengan mata terpejam. 

“Ck!” decaknya. Matanya membulat sempurna ketika melihat Alida setengah badan di depan. “Lo pagi-pagi iseng banget, Al?”

“Ayo bangun, Kak. Semenit lagi gerbang ditutup! Kita harus lari ke gerbang sekolah!” Alida harus memastikan Javas sudah meraih kesadaran. 

“Nggak ada cara lain selain pakai tisu?” Javas mengucek-ngucek hidungnya yang terasa gatal.

Alida menggeleng. Ia segera menyandang ranselnya. Kemudian turun dari mobil.

“Nanti gue bales!” desis Javas yang terdengar sampai telinga Alida. Tapi, gadis itu tak peduli. Ia segera menutup pintu mobil.

Masih dengan separuh nyawa, Javas menyusul turun. Semangatnya untuk berangkat ke sekolah, semakin berkobar-kobar ketika respon Alida atas perubahan sikapnya, cukup baik. Bahkan jauh dari ekspektasi yang Javas punya.

Ransel dari pundak Alida yang disandang di salah satu bahu, tiba-tiba ia sambar. “Tas lo gue yang bawa!” Ia lalu menarik pergelangan tangan Alida. Mereka lari bersama, melewati gerbang yang tinggal muat satu orang.

“Ya, Allah! Hampir aja kita telat!” Langkah Alida memelan, tangannya mengusap dada. Senyumnya merekah disertai jantung yang nyaris copot. Kalau Alida sampai terlambat hari itu, pasti akan jadi pertanyaan besar oleh orang tuanya. Ia sudah pindah tempat tinggal, seharusnya tak boleh ada kata terlambat!

“Gimana rasanya nyaris kejepit pagar sekolah?” Javas ikut tersenyum tipis, melihat Alida mengurut dadanya. Wajah gadis itu terlihat menggemaskan. Sepertinya tadi pengalaman pertama Alida nyaris menerobos gerbang sekolah yang sedang ditarik dari dua sisi.

“Seru, ya, Kak?” sahut Alida makin cerah, diakhiri kekehan pelan. Ia tak sadar tangan Javas masih memegangnya. 

“Besok mau diulangin lagi?” tawar Javas yang makin gemas dengan respon Alida. Tadinya ia pikir Alida akan mengeluh atau menggerutu.

“Woy! Jangan bikin kita semua minggat dari dunia ini!” teriak salah seorang siswa dari lantai dua. 

Langsung saja Alida dan Javas yang masih mengatur ritme napas di depan gerbang sekolah, jadi pusat perhatian!

Sorak-sorai, siul-siulan, sampai suara prikitiw membahana se-antero sekolah.

Lihat selengkapnya