Semenjak hubungannya dengan Javas kian membaik dan terus mengalami peningkatan, beban dalam hati dan pikiran Alida berkurang.
Javas bukan lagi masalah yang harus Alida pikirkan. Bukan lagi tantangan yang harus Alida pikirkan betul-betul jalan keluarnya. Meski, sampai saat itu apa yang membuat Javas berubah baik pada Alida masih berupa misteri. Bu Rosy pun juga tak ada bercerita mengenai cucunya.
Biasanya wanita tua nan elegan itu akan mengirim SMS berisi kalimat-kalimat untuk menyejukkan hati dan menambah kesabaran Alida untuk menghadapi Javas pada tiap pertemuan.
Namun, kini sudah tidak lagi. Sejak sore itu dan sudah 3 kali pertemuan Alida tak menemani Javas belajar, selama itu pula ia tak berkirim kabar pada Bu Rosy.
Alida berharap sikap baik Javas akan berlangsung seterusnya, sampai mereka lulus sekolah. Ia juga senang tak ada lagi hal menakutkan yang membebani pikiran dan dapat belajar dengan tenang. Untuk matematika-mata pelajaran yang Alida takuti pun sudah ada jalan keluarnya. Ia punya teman belajar untuk mendalami rumus demi rumus yang jelimet itu. Teman belajarnya itu adalah Ghozi!
Hanya saja, Alida melewatkan satu hal. Ghozi Jung Pratama. Laki-laki yang sudah mengisi hatinya sejak kelas dua SMA, makin lama makin kelihatan aslinya.
Si juara tiga olimpiade matematika, di mana Alida tak lolos sampai semi final, yang sadar diri jika Alida menwruh hati padanya. Perasaan Alida pada sang ketua OSIS pun semakin bertambah-tambah, ketika Ghozi bersedia menjadi teman belajar Alida.
Sebenarnya, mereka berdua sudah sering mengerjakan tugas matematika bersama sejak kelas dua. Hanya saja tidak rutin dan kalau ada rumus yang tak Alida mengerti.
Ketika nilai ulangan harian Alida anjlok, Ghozi lah yang menemani Alida belajar sampai tiba waktu remedial. Sampai ia dua kali tak datang pertemuan menemani Javas belajar. Selain saat itu Alida juga sedang pindah rumah.
Sejak semester dua kelas dua, Alida sering menemukan Ghozi pergi dan pulang bersama temannya bernama Rintan. Apa yang Alida lihat kemarin bukan lah hal pertama.
Namun, Ghozi pandai merawat perasaan Alida untuknya. Laki-laki berambut cepak itu, ketika membatalkan janji, ia akan menggantinya dengan menemani atau mengajari Alida matematika. Alida pun jadi mewajari sikap Ghozi.
“Alida, kamu siap-siap ya. Temenin adik-adik OSIS buat ikut workshop di SMAN 6.” Pak Dian memberitahu setelah memanggil Alida untuk keluar kelas sejenak di sela-sela belajar.
“Bukannya saya sama Ghozi, Pak?” tanya Alida heran.
“Ghozi nemenin Rintan ikut workshop Kelompok Ilmiah Remaja di salah satu universitas negeri di Jakarta.”
“Kok, bisa berubah gitu, Pak?” Alida merasa ada yang aneh.
“Iya, tadi temannya Rintan sakit. Nggak ada yang nemenin dia ke sana. Tiap sekolah itu kan harus mengutus dua siswa. Pas banget Rintan bilang ke ruang guru, ada Ghozi. Ghozi nawarin buat nemenin,” papar Pak Dian panjang lebar.
Alida hanya bisa membuat O di bibirnya tanpa suara. Ini bukan kali pertama, kedua, ketiga, Ghozi membatalkan rencana tanpa bicara dengan Alida.
Seharusnya yang pergi ke SMAN 6 itu ketua OSIS dan wakilnya, mengingat pertemuan di sekolah itu adalah pertemuan rutin menjalin silaturahmi antar OSIS se-DKI. Jauh lebih penting daripada sekadar menjadi peserta workshop Kelompok Ilmiah Remaja yang diselenggarakan salah satu universitas negeri di Jakarta.