“Alida sampai kapan jadi teman belajarnya Javas?” Nicko baru saja menarik rem tangan mobilnya. Setelah kuda besi itu berhenti di depan pagar rumah Javas.
“Bukannya gue udah ngasih tahu, ya?” Mata Alida memicing.
Nicko menggeleng cepat. Wajahnya serius. Tatapannya tak lepas dari Alida. Ia tak suka Alida masih berhubungan dengan Javas. Entah sampai kapan Javas akan terus mengganggu kehidupannya. Nicko semakin yakin dengan rencananya! Apalagi Javas sudah tak lagi bersama teman-teman satu geng. Hanya dia saja yang masih duduk di bangku SMA. Pasti mudah untuk membuat nama pentolan tawuran SMA Cendana Satu itu, semakin jelek.
“Sampai semester satu aja, Nick. Emang kenapa?” Alida sudah melepaskan sabuk pengaman. Ia pun hendak mengangkat ransel yang ditaruh di kakinya yang duduk di jok depan.
“Alida … Javas itu bukan anak baik-baik. Nicko cuma khawatir aja sama Alida. Nicko nggak mau orang-orang jadi mikir yang nggak-nggak tentang Alida. Apalagi, Alida belajarnya di rumah Javas. Dia laki-laki,” jelas Nicko yang memang seresah itu.
Ditambah, ia tak mau kalau Alida sampai ikut terpesona seperti kebanyakan teman-temannya. Laki-laki yang sudah melenyapkan nyawa kakaknya itu, bisa dikatakan memiliki semua yang diinginkan perempuan!
Biarpun dingin, irit bicara, tak peduli dengan sekitar, Javas tahu bagaimana menghargai dan memperlakukan perempuan. Javas laki-laki yang sopan, meski menyeramkan.
Otak cerdasnya membuat Javas memiliki kharisma tersendiri yang tak bisa dibantah oleh siapapun, termasuk Nicko. Tak perlu ada sikap ramah, atau bualan untuk menggaet hati perempuan. Cukup dengen satu lirik mata, kaum hawa seakan terhipnotis dengannya. Sebab itu, Gathan sangat membenci Javas!
Reputasi Gathan sebagai penakluk perempuan, jadi hancur berantakan tiap kali modusnya selalu patah dengan sendirinya ketika Javas hadir. Meski berbeda sekolah, nama Javas yang sering dikumandangkan tiap pertempuran di medan tawuran membuat Javas mudah dikenal di kalangan anak-anak sekolah se-Jakarta Selatan.
Alida mengembuskan napas pelan. “Makasih atas perhatiannya, Nicko. Tapi, kayaknya Kak Javas nggak seburuk yang lo bilang, deh.”
“Nicko serius Alida. Bisa aja kan, Javas pura-pura baik di depan Alida. Alida belum tahu aja keburukan yang sudah Javas lakukan. Kalau tahu, pasti nggak akan mau dekat-dekat sama dia.” Satu informasi tentang Javas sudah menunggu di ujung lidah Nicko. Namun, ia tak bisa semudah itu mengatakannya.
Hubungan sekolah mereka sudah kian membaik semenjak tragedi tawuran dahsyat yang pernah terjadi di sepanjang sejarah sekolah Nicko dan Javas. Menceritakannya, sama dengan membuka kembali sejarah kelam, dan bisa dicap sebagai provokator! Javas tidak murni bersalah. Nicko tahu kakaknya yang memulai tawuran itu.
Jangan sampai informasi untuk membuat nama Javas buruk, malah berbalik arah pada Nicko yang mati-matian menjaga reputasi dirinya setelah dikenal sebagai adik dari kakak yang hobi tawuran!
“Emang Kak Javas ngapain? Sampai lo yakin gue nggak bakalan mau deket-deket dia?” tantang Alida setelah berpikir keras hal apa yang sudah Javas perbuat sampai ia tak mau dekat-dekat?
“Nanti Alida akan tahu dengan sendirinya. Sekarang, Alida harus hati-hati sama Javas. Dia laki-laki banyak modus–”
“Modus? Lo tahu dari mana? Emang lo deket sama Kak Javas?” Alida tak akan digelari siswi teladan, kalau otaknya tidak kritis dan informasi yang diterima harus berdasarkan data valid!
“Alida, please. Pokoknya, hati-hati aja selama sama Javas. Kalau dia macem-macem, kasih tahu Nicko!” Laki-laki berparas manis tinggi besar itu langsung menyambar ransel Alida. Kemudian mengajak turun dari mobil.
Satpam rumah Javas menatap serius Nicko. Sejak kejadian sore tempo hari, ia jadi tahu siapa Nicko. Aldi-teman satu geng Javas yang memberitahu. Hanya Aldi yang rutin memeriksa kondisi dan keadaan Javas. Sampai satpam pun juga dia tanya.
“Hape Alida batrenya penuh, kan?” Nicko bertanya sambil berjalan menuju teras depan rumah Javas. Ia melewati satpam dengan santai. Meski ditatap tajam. Bagi Nicko, selama si satpam itu tersenyum pada Alida, berarti tidak ada masalah.
Alida mengeluarkan ponsel dari saku roknya. “Batrenya tinggal tiga. Emangnya kenapa nanya-nanya batre hape gue?”