Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #25

Iler Lo Banyak Juga, Ya?

Alida melangkah pelan menuju teras belakang dengan perasaan tak keruan. Setelah dibuat kesal oleh Nicko, jantungnya dibuat melompat karena Javas marah, lalu kini bibirnya tak henti tersenyum hingga perlu dikulum ketika Javas bilang dia akan tetap jadi Javas yang kemarin untuk Alida! WOW!

Alida pun harus bolak-balik menarik napas dalam-dalam. Kontras. Sangat kontras perubahan Javas. Tiap kali diusir olehnya, tiap kali itu pula jantung Alida diberikan efek kejut disertai sakit kepala.

Sekarang, tiap kali Javas bersikap baik, tiap kali laki-laki berkacamata itu bicara padanya, tiap kali itu pula PLN se-Nusantara padam! Sampai aliran listrik dalam otak Alida ikut mati.

Alida duduk perlahan di kursi tempatnya biasa duduk di teras belakang. Tiga kali pertemuan tak datang, artinya sudah seminggu Alida tak ke rumah Javas.

Tempat luas dihiasi perabotan jati, taman asri, pepohanan rindang dan suara gemericik air dari kolam ikan, memberikan rasa sejuk dan menenteramkan. Suasananya seperti di sebuah desa. Entah apa namanya.

Setelah menyandarkan kruk pada salah satu sisi kursi, Javas duduk di seberang Alida. Di atas meja itu sudah tertata rapi beberapa buku tulis dan pelajaran, juga alat tulis milik Javas. Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tata letak yang tak pernah berubah. 

Mata onyx Javas menatap lurus Alida. Kedua tangannya mengepal kuat di atas pangkuan. Ia sedang mengatur perasaannya. Emosi yang tadi terpantik akibat sindiran dan ejekan Nicko sudah terbang dipatuk burung, berganti dengan rasa kehilangan yang membahana. 

Hari itu akan menjadi hari terakhir Alida datang ke rumah, menjadi teman belajarnya. Siap tak siap, Javas terpaksa menerima keputusan eyang yang sudah ia buat menangis. 

“Alida, gimana kabarnya?” Bu Rosy menyapa dengan wajah cerah, dari belakang Alida. Ia baru memasuki teras belakang.

“Eyang, alhamdulillah baik. Maaf, Alida baru bisa datang hari ini, nemenin Kak Javas belajar.” Alida berdiri menyambut kedatangan Bu Rosy, lalu melirik Javas saat menyebut namanya. Dengan wajah cerah, ia menyalami Bu Rosy. 

Eyang Javas itu mengusap punggung Alida saat pujaan hati cucunya sedikit membungkuk.

“Iya, nggak apa-apa. Nanti setelah belajar Eyang mau bicara sama Alida dan Javas juga, boleh?” Masih dengan wajah yang sama cerah seperti Alida, Bu Rosy melihat Javas tepat di tengah manik hitamnya.

“Boleh, Eyang. Eyang mau bicara soal apa?” Alida kemudian kembali duduk saat Bu Rosy beranjak mendekati meja.

“Nanti saja Eyang beritahu. Eyang harap Alida senang mendengar apa yang Eyang sampaikan.” Bu Rosy mengulas senyum penuh arti. Ekor matanya memperhatikan raut Javas yang terlihat dingin. 

“Senang?” Mata Alida membulat disertai senyum merekah. “Wah, Alida jadi nggak sabar!”

“Mungkin kita akan ngobrol sampai makan malam, apa Alida mau?” Bu Rosy meneliti raut wajah Alida yang tampak pucat. 

“Nggak apa-apa, Eyang.”

“Nanti Eyang telpon mama Alida, ya. Biar Alida nggak dicariin.” 

“Iya, Eyang.”

Bu Rosy lalu berjalan menuju sofa tempat ia biasa mengawasi Alida dan Javas. Wanita elegan penyuka warna ungu dan magenta itu, sudah mendapatkan informasi lengkap dari Pak Arief mengenai sikap Javas pada Alida. 

Meski, supir berusia 50 tahun itu sudah berjanji pada Javas tak akan menceritakan apa pun pada Bu Rosy, hanya saja, yang jadi majikan Pak Arief adalah Bu Rosy. Ia pun sudah lebih dulu terikat janji untuk selalu melaporkan tindak-tanduk Javas, apalagi setelah Alida hadir di tengah-tengah keluarga mereka. 

Semua orang yang bekerja di rumah Keluarga Samudera, sampai tembok, segala macam perabotan hingga tanaman seluruhnya jadi saksi yang akan bicara pada Bu Rosy.

“Tugas-tugasnya udah dikerjain?” tanya Alida sambil membuka buku tulisnya. Meski, kemarin Pak Arief sudah memberitahu Javas begadang mengerjakan tugas, ia ingin mendengar langsung dari berita bahagia itu terucap dari kakak kelasnya.

Javas tak bicara. Satu tangannya bergerak pelan, mendorong buku tulis bersampul coklat dibungkus plastik bening bertuliskan namanya.

Alida yang menyadari itu, segera menyambutnya. Mengambil buku tulis Javas lalu membukanya. Bukan buku yang dulu pernah Alida isi dengan banyaknya tugas yang ia tulis tangan. Itu buku baru dan masih kaku kertasnya.

Dengan mimik serius, Alida membuka buku tulis Javas. Membaca halaman pertama, lalu membuka halaman kedua. Tulisan Javas tak begitu rapi, keriting bagai tulisan dokter. 

Lihat selengkapnya