Mimpi Tanpa Tapi

VelouRa
Chapter #26

Hari Terakhir

Begitu pulasnya Alida terlelap sampai langit pun merayap gelap. Hati yang tenang, pikiran yang sudah berkurang bebannya, ditambah situasi dan kondisi yang mendukung, membuat Alida terbang lepas bermain di negeri khayangan.

Matanya yang semula masih terbuka setengah, langsung membuka sempurna ketika suara Javas masuk ke dalam telinganya. Alida sadar tangannya basah. Tadi di negeri khayangan, ia minum kebanyakan sampai air pun mengalir dari sudut bibirnya. 

“Iler?” ulang Alida dengan memelankan gerakannya mengusap bibir. Tangan itu segera ia arahkan ke lubang hidungnya. “Wuek! Bau!” Alida bergaya ibu-ibu hamil muda sedang mual-mual.  

“Ih, jorok!” seru Javas melihat kelakuan Alida. Ia tak kuasa melihatnya. Bibirnya spontan terlipat ke dalam. Alida yang ngiler, dia pula yang kebauan. 

Alida mengatur wajahnya seelegan mungkin, meski sudah tertangkap basah bibirnya belepotan dengan air yang merembes di saat ia terlelap. Sehelai tisu yang tersedia di meja samping buku Alida ambil, lalu mengeringkan telapak tangannya. 

“Ngiler itu reaksi alami yang terjadi ketika seseorang tidur. Bukan jorok itu namanya, Kak,” terang Alida, santai, padahal dalam hati, malunya makin menjadi-jadi.

“O-ooh,” sahut Javas sambil menaikkan alisnya. “Emang biasa tidur ngiler, ya?” Javas kembali bertanya, nadanya datar, tapi sebenarnya dia sedang menggoda Alida. Hanya tak tahan menemukan kelakuan Alida yang mencengangkan dan dengan begitu santai, seolah-olah iler bukan masalah besar untuknya sebagai perempuan.

Kedua sudut bibir Javas menerbitkan senyum tipis. Saking tipisnya, mungkin hanya eyang yang tahu jika saat itu Javas sedang tersenyum pada Alida.

“Eits, sorry ya. Nggak tiap tidur aku ngiler–”

“Terus?”

“Kalau lagi kecapekan aja biasanya ngi–”

“Capek? Emang kegiatan lo ngapain aja selain sekolah, OSIS dan jadi teman belajar gue?” cecar Javas pelan. Ia akan mencatat semua informasi yang Alida berikan. Gadisnya itu tak boleh overdosis dalam berkegiatan.

Alida diam sejenak. Sebenarnya, semua kegiatan jika dilakukan dengan perasaan senang, rasa lelah tak akan terlalu terasa olehnya. Hanya saja, beberapa rumus matematika yang belum Alida kuasai, membuatnya selalu dibayangi dengan ketakutan tidak lulus Ujian Nasional. Belajar bersama Ghozi sebenarnya juga belum membuatnya mengerti rumus-rumus yang njelimet itu. 

“Itu aja, sih, Kak.” Alida tak mau menatap wajah sang kakak kelas. 

“Yakin?”

“Ya, paling karena masih jadi duta sekolah, masih dikirim-kirim buat ikutan workshop sama seminar. Jadinya nggak sekolah, terus harus nyusul sendirian pelajaran yang ketinggalan,” papar Alida, sambil mengingat kekecewaannya hari itu, karena Ghozi lebih memilih menemani Rintan, dan tidak mengatakan sepatah kata pun untuknya.

“Nanti gue temenin belajar.” 

Sepasang mata Alida langsung melesat melihat Javas. Ia mengangguk pelan. Matanya kembali melihat meja yang menjadi alas tidurnya.

“Yaa … Kak Javas, bukunya–” Alida mengangkat buku tulis Javas yang basah ketumpahan air yang keluar tanpa beban dari mulutnya.

“Ini buku yang mau dikumpulin besok, kan?” Alida memasang wajah sungkan, bercampur malu, dan seakan kehilangan harapan. Entah apa.

“Hmm.”

“Maaf–”

“Gue bisa tulis lagi. Yang penting lo cukup istirahat. Cuci muka sana!”

Alida terdiam. Ia lalu bangkit pelan-pelan dari kursinya. 

Lihat selengkapnya