Langit kota itu asing. Terlalu ramai untuk hatinya yang sepi.
Lia berdiri di antara gedung-gedung tinggi, membawa koper tua dan mimpi yang mulai berat dipikul.
Ia berhasil lolos beasiswa di universitas negeri — pertama dari desanya.
Semua orang menyebutnya kebanggaan kampung. Tapi kebanggaan tak mengurangi berat air mata yang jatuh diam-diam di terminal.
Ibu Sri menangis di beranda, memeluk tubuh putrinya yang makin kurus karena terlalu banyak belajar.
Tangannya gemetar saat menyelipkan uang dua puluh ribuan ke saku tas Lia, diam-diam, agar tak merasa direpotkan.
“Lia...
jangan lupa makan, ya, Nak.
Dunia di sana nggak kayak di sini.”
“Iya, Bu... Lia gak akan lupa,”
jawab Lia pelan, meski hatinya tak yakin.
Ayah berdiri canggung di sisi lain. Ia tak banyak bicara, hanya mengangguk pelan dan menepuk bahu Lia, satu kali.