Sore itu, langit seperti menahan tangisnya. Mendung menggantung di atas kota, enggan jatuh, seolah langit pun sedang berusaha kuat.
Lia duduk di sudut kamar kosnya yang pengap, diterangi cahaya remang dari lampu gantung yang redup.
Di tangannya, sebuah amplop lusuh dari desa tergenggam erat—bau tanah dan sunyi menguar dari kertas itu.
Tulisan ibu masih miring, sedikit gemetar, seperti ditulis di tengah malam saat cahaya pelita hampir padam.
“Nak, Maaf kalau surat ini bikin kamu makin sedih.
Ibu cuma mau bilang, adikmu sekarang di rumah. Sekolahnya terpaksa berhenti.
Bapakmu udah nggak sanggup lagi bayarin uang sekolah, dan kami nggak tega minta kamu kirim lebih banyak.”
“Tiap malam, adikmu duduk di depan rumah, baca buku yang sama berulang kali.
Katanya dia ingin tetap pintar, walau nggak bisa ke sekolah.