Hingga suatu pagi yang heningnya seperti ruang doa yang kosong, sebuah email masuk.
Sebuah undangan wawancara dari perusahaan kecil.
Gaji dituliskan dengan angka yang nyaris seperti ejekan.
Namun Lia tak mengeluh.
Ia tahu, dalam hidup seperti miliknya, harapan tak datang dalam bentuk pesta.
Kadang ia muncul sebagai pintu reyot yang nyaris patah—tapi tetap bisa dimasuki.
Ia menyetrika satu-satunya kemeja yang masih layak.
Memoles wajahnya bukan dengan riasan, tapi dengan tekad yang tak bisa dicuci.
Di ruang tunggu, ia adalah bayangan di antara warna-warna mahal dan parfum mahal.