Hidup memang tidak seindah drama Korea, tidak serumit sinetron Indonesia, dan juga tidak seajaib film televisi (FTV). Kenyataannya ... hidup itu sepahit pare.
Sesosok gadis berambut panjang terkapar di pinggir lapangan tepat di bawah pohon mangga yang teduh. Harap tenang dan jangan tegang. Rambut gadis itu dikucir ekor kuda, bukan tergerai panjang seperti Mbak Kunti. Tidak. Gadis itu manusia. Bukan makhluk halus yang paling suka eksis di televisi.
“Es teh ... oh, ibu peri yang baik hati, aku butuh es teh ...,” ucap gadis itu dengan suara yang tidak kalah lantang dari speaker sekolah.
“Mimi peri kali yang bakalan datang.” Sesosok gadis lain, yang berambut pendek sebahu, duduk di samping gadis berkucir ekor kuda itu.
“Astaga! Kapan lo duduk di samping gue, Met?” Gadis itu bangkit dari tanah—ralat, bangkit dari posisinya berbaring di rumput. Ia membersihkan rumput kering yang menempel di rambutnya dengan asal.
“Sejak Avatar Aang muncul kembali di Bumi.” Meta menatap sahabatnya itu dengan kesal. “Lari lo cepet amat kayak cheetah. Tega lo, ya, nggak nungguin gue. Padahal, gue dihukum gini gara-gara lo nih, Cha.”
Icha meringis. Ia sadar akan kesalahannya. Namun, bukan berarti ini hanya salah Icha seorang. Pak Sam dan Joko juga salah. Bagaimana bisa Pak Sam tiba-tiba muncul saat Joko sudah mengatakan jam pelajaran pagi itu kosong?
Icha, yang notabene malas mengikuti pelajaran Olahraga, langsung tancap gas ke kantin. Sayangnya, keberuntungan sedang tidak berpihak kepada Icha.
“Maaf deh, Met. Salahin Joko, tuh. Informan nggak akurat dan nggak tepercaya. Gue kira Pak Sam beneran pergi, terus jam Olahraga kosong. Jadi, ya gue ajak lo ke kantin. Maafin gue dong,” mohon Icha sambil mencolek-colek pipi Meta. Tetapi, Meta masih saja cemberut.
“Iya, gue maafin. Tapi, gue nggak mau terlibat tindakan kriminal lagi sama lo.” Meta berdiri. Menepuk-nepuk bokongnya yang sedikit kotor.
“Lo kira gue abis ngerampok apa? Tindakan kriminal. Lebay lo, ah. Eh, mau ke mana lo?” Icha ikutan berdiri.
Meta menunjuk ke arah lapangan tempat teman-teman sekelasnya sedang bermain basket. “Gabung sama temen-temen.”
“Bentar deh, Met.” Icha menahan lengan Meta.
“Apaan?” tanya Meta bingung dengan tingkah Icha yang selalu aneh.
Icha meringis memamerkan barisan giginya yang rapi. “Tunggu sampai Pak Sam manggil kita berdua. Satu ... dua ... tiga ... em ....”
“ICHA! META! CEPAT KEMARI!” Suara Pak Sam menggelegar dari tengah lapangan basket.
“Nah, bener, kan, kata gue. Ayo!” Icha langsung menarik lengan Meta cepat sebelum Pak Sam semakin kencang meneriakkan nama dua gadis itu.
Mungkin Icha belum lama mengenalnya, tapi kehadiran Meta di hidup Icha adalah segalanya. Serupa oasis yang muncul di tengah gurun. Menjelma hubungan persahabatan yang sempat tidak lagi Icha percaya.
***
Kali pertama Icha bertemu Meta pada hari pertama semester 1 di kelas XI. Pagi itu Icha melihat Meta hanya berdiri diam di depan kelas sambil menatap papan bertulisan “XI IPA 3” tanpa berkedip. Saat ditanya Icha, Meta bilang papan nama kelas itu berbeda dengan sekolahnya yang dulu di Semarang. Sejak saat itu, Meta malah menempel terus pada Icha.