Postur tubuh cowok itu tidak terlalu kurus, juga tidak gemuk. Tidak setinggi tiang listrik, tetapi cukup jangkung di kalangan cewek-cewek. Dengan gaya rambut terbaru, ia jauh lebih percaya diri dibanding seminggu lalu. Hampir saja Pak Tri memotong rambutnya yang sudah mulai panjang. Untungnya ia berhasil menyelamatkan diri di waktu yang tepat.
Langkah Ardo terasa ringan dengan senyum yang tidak pernah luntur dari bibirnya. Perkenalan singkatnya dengan Icha tidak mau menghilang dari pikiran. Setiap teringat wajah kesal cewek itu, bibir Ardo tidak bisa berhenti tersenyum.
Koridor kelas XII masih sepi. Hanya beberapa murid teladan yang terlihat baru memasuki kelas. Biasanya Ardo tiba lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Sengaja, memang. Namun, jangan salah, Ardo paling anti-terlambat. Bisa dihitung catatan keterlambatannya berangkat sekolah. Hampir tidak pernah.
Langkah Ardo terhenti ketika melihat dua sahabatnya sudah duduk di bangku paling belakang tempat mereka biasanya membuat keributan di kelas. Ardo melirik jam tangan yang ia pakai, kemudian beralih ke jam dinding yang terpajang di tembok kelas. Jamnya nggak salah, kok? Masih setengah tujuh. Dua anak itu kesambet apaan, ya?
Cowok itu masih saja membandingkan jam tangan miliknya dengan jam dinding di kelas. Jika bukan jamnya yang salah, berarti dua sahabatnya itu yang bermasalah.
“Kalian Umar sama Roni, kan?” tanya Ardo dengan jari telunjuk mengarah ke dua cowok yang sedang asyik memainkan ponsel masing-masing. Yang ditanya saling tatap, kemudian menggeleng kompak.
“Bukan. Kenalin, gue Nicholas Saputra.” Umar mengulurkan tangannya kepada Ardo.
“Kenalin juga, gue Jefri Nichol,” sahut Roni.
Ardo tersenyum sok manis sambil merapikan kerah seragam OSIS-nya. “Salam kenal. Gue Maxime Bouttier.”
Ketiga cowok itu meringis berjemaah. Tata, si cewek berkacamata tebal di sebelah bangku mereka, merinding mendengar percakapan tiga cowok tidak waras itu.
“Ikut main, nggak lo, Do?” Umar membuka aplikasi game yang sekarang ini paling ngetren.
“Main bareng? Oke, siapa takut. Gue ikut. Mar, lo jangan pakai Zilong mulu dong. Ganti hero lain kenapa?”
“Biasa, gue pakai Gatotkaca. Cintai produk dalam negeri, Man.” Roni menunggu Ardo dan Umar bergabung.
“Gue pakai Sun Wukong yang mencari kitab suci ke barat, lurus, perempatan belok kiri. Sip. Ayo, Mar. Gue yakin bakal menang nih, kita. Cepetan! Keburu bel masuk bunyi, entar,” ucap Ardo tak sabar.
“Nah, gue pilih Hilda aja.” Umar meringis mendapatkan hero pilihannya. “Ready?”
Jangan heran, mereka sedang bermain game Mobile Legends yang sepertinya sudah menyaingi kepopuleran Clash of Clans. Kata ketiga cowok itu, hidup akan terasa hampa jika sehari tidak bermain game. Lebih hampa dibanding ditinggalkan gebetan.
“Gue ... tadi udah ketemu sama cewek pemilik kalung itu,” celetuk Ardo tiba-tiba. Umar dan Roni kompak menatap Ardo menuntut penjelasan.
***