Wanita itu melangkahkan kakinya lebih cepat dari sebelumnya. Sesekali ia mengalihkan pemandangannya ke belakang, seakan – akan takut akan ada seseorang yang mengejarnya. Tak lama, sampailah ia di tempat tujuannya. Sebuah kampung yang terlihat begitu sederhana. Setelah kembali mengumpulkan keberaniannya, wanita itu melangkahkan kakinya perlahan, mencoba berjalan sepelan mungkin. Kebetulan, seluruh penghuni di kampung tersebut sudah tertidur di rumah mereka masing – masing. Wanita tadi akhirnya meletakkan bayi nya di depan pintu rumah seseorang, setelah ia sebelumnya mencoba menelusuri dan menebak kira – kira penghuni rumah seperti apa yang mau menerima bayinya. Setelah menemukan sebuah pintu rumah yang lumayan bagus dibandingkan rumah – rumah yang lainnya, wanita itu meletakkan bayinya di lantai tepat di depan pintu. Sang ibu tersenyum pahit. Kini, ia terpaksa harus membuang putri yang baru saja beberapa bulan lalu dilahirkannya, semua karena peraturan gila itu. Ia berharap, instingnya sebagai seorang ibu benar, dan yakin kalau ia sudah memilih rumah yang menurutnya tepat. Setelah puas memandangi buah hatinya, ia pun kembali berlari secepat mungkin meninggalkan kampung tersebut. Sebentar lagi, hari sudah mulai menjelang pagi.
Matahari telah terbit dari ujung timur. Satu per satu warga kampung Manden keluar dari rumah mereka. Memulai aktifitas mereka seperti biasanya. Semua berjalan normal, kecuali bagi seorang perempuan berumur tigapuluh tahunan yang baru saja membuka pintunya. Ia terkejut bukan main saat melihat seorang bayi yang terlihat seperti sedang tertidur pulas. “Ternyata, kini giliran aku yang terpilih.” gumamnya. Dia tampak sedikit meragukan keadaan bayi itu, karena seorang bayi biasanya cenderung sering menangis. Tapi tidak dengan bayi yang ia temui. Apa mungkin bayi ini…. Dengan cepat, ia menyingkirkan pemikiran itu dengan menggelengkan kepalanya. Perlahan, tubuhnya menunduk, memperjelas pengelihatannya. Ia pun segera mempertajamkan pandangannya, matanya fokus memandang ke arah perut bayi itu. Masih bergerak rupanya. Tira menghela napasnya lega. Tanpa menunggu lama lagi, ia segera mengangkat bayi tersebut.
Benar saja, mungkin karena merasakan guncangan yang membuatnya tidak nyaman, bayi tersebut pun mulai menangis. Tira mencoba untuk tetap tenang walaupun memang ini untuk pertamakalinya ia menggendong seorang bayi. Ia menimang bayi tersebut, tak lupa ia juga sedikit bersiul – siul kecil ; mencoba sebisa mungkin untuk menenangkan bayi yang baru saja ia temukan. Tira membawa bayi tersebut ke dalam rumahnya, menidurkan bayi itu di kasur miliknya. Namun, bayi tersebut masih menagis kencang. Tira benar – benar mulai panik sekarang. Terlebih, ia tinggal sendiri. ‘Habislah aku’ pikirnya. Sedetik kemudian, satu hal langsung muncul dari kepalanya. Susu! Ya. Pasti itu yang dibutuhkan bayi ini. Sangat menyedihkan rasanya, Tira yakin bayi ini tidur semalaman, tanpa diberi asi sama sekali hingga pagi. Pasti bayi ini menderita sekali. Membayangkan seorang bayi yang kira – kira sudah berumur beberapa bulan ini kelaparan dan kehausan. Tapi walau begitu bayi ini sangat hebat, ia tetap bisa bertahan dalam keadaan seperti itu. Kebetulan, tak jauh dari rumah, ada sebuah toko kecil yang menjual bahan sembako. Tira yakin, walau begitu pasti toko tersebut menjual susu bayi.