”Rine!! Erine!” seru Tira dari depan pintu rumahnya. Sudah dua jam Erine berada diluar rumah, ingin bermain dengan teman – teman, katanya. Hari sebentar lagi sudah menjelang sore. Untungnya Erine mendengarkan ucapannya untuk bermain di depan rumah saja. Karena sungguh, sudah seharian di pasar Erine merengekek, bukan ingin diminta dibelikan mainan, atau apa, namun hanya sekedar untuk mengajaknya bermain sebentar. Sedangkan tadi pagi, Tira harus disibukkan dengan banyaknya pembeli, yang tentu saja mayoritas ibu – ibu rumah tangga. Sampai sekarang, bahkan hingga sekarang, Tira masih belum bisa meninggalkan Erine sendirian di rumah, ia selalu mengajak anak angkatnya itu untuk berangkat ke pasar bersama – sama. Tak jarang, kadang Tira merasa sedikit tersentuh melihat Erine dengan inisiatif memijat bahu Tira, seakan – akan ia mengerti bahwa orang yang telah membesarkannya itu sedang merasa kelelahan.
Sedikit rasa sedih muncul di dalam benak Tira. Entahlah, tiba – tiba saja ia berpikir mungkin walaupun Erine sedang bersamanya atau bersama teman – temannya, Erine tetap merasa kesepian, apakah mungkin rasa kesepian itu sudah ada bersamanya ketika ia bayi? Karena mau bagaimanapun juga, anak angkatnya itu pasti tetap memiliki ikatan batin yang kuat dengan ibu kandungnya. Tira sangat yakin dengan hal itu. Pasti, jauh di dalam lubuk hati Erine, ia tetap merasa seperti membutuhkan sosok yang sangat ia rindukan. Namun, yang membuat hati Tira sedikit teriris adalah kemungkinan besar Erine benar – benar tidak tahu siapa sosok yang ia rindukan tersebut, karena Erine sudah yakin bahwa orang – orang di sekitarnya tetap berada di dekatnya.
Memang, tak terasa delapan tahun ternyata berlalu begitu cepat. Tira merasa sepertinya baru beberapa bulan yang lalu ia membawa Erine yang masih bayi ke dalam rumahnya, membuatnya panik setengah mati, lalu mengompol di kasurnya. Memori kecil yang tentu takkan pernah terlupakan bagi Tira. “Apa kali ini Erine masih mengabaikan panggilanmu tadi?” Suara seseorang dari belakangnya membuat Tira mau tak mau menatap sosok tersebut. Pria dengan kumis dan jenggot tipis tak lupa dengan rambutnya yang agak botak, yang ia nikahi lima tahun yang lalu. Gilang. Bisa dibilang, Gilang memang bukanlah pria dengan wajah yang rupawan. Tapi, bukan itu yang Tira lihat. Wanita itu jatuh pada sikap lembut dan hangat pria itu. Pertemuan mereka diawali dengan Tira yang sedang kesulitan membawa barang – barang dagangannya yang lumayan banyak hari itu, ditambah saat itu ia juga sedang menggendong Erine kecil. Tiba – tiba Tira merasakan ada sebuah tangan yang mencoba untuk mengangkat salah satu tas besar yang ia taruh diatas kepalanya.
Disanalah Tira merasa hatinya begitu menghangat dengan perlakuan pria yang baru saja ia temui. Sejak saat itu, mereka berkenalan, menjadi begitu dekat dan memulai pertemanan, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius lagi. Sebelumnya, Tira mengatakan pada Gilang bahwa ia adalah salah orang yang “terpilih”. Ia takut jika tidak mengatakan ini saat hubungan mereka sudah mulai serius, Gilang akan meninggalkannya. Karena, siapa tau Gilang belum siap menjadi seorang ayah. Namun ternyata, laki – laki yang disukainya itu mengatakan kalau ia justru tidak keberatan dengan kehadiran Erine dalam kehidupan mereka nanti. Setelah beberapa lama menjalin kasih, Gilang memantapkan pilihannya untuk menjadikan Tira sebagai pendamping hidupnya hingga akhir hayat.
Tetapi sayangnya, setelah berbulan – bulan menunggu kehadiran buah hati kandung mereka, Tira mengalami kecelakaan. Tentu saja Gilang yang saat itu sedang berada di sawah terkejut dengan berita kecelakaan istrinya. Setelah sampai di puskesmas, sang bidan meminta Gilang untuk berbicara berdua saja dengannya. Hatinya semakin hancur dengan info yang baru saja bidan katakan. Tira keguguran dan kemungkinan besar tidak akan bisa mengandung lagi. Tira juga sangat ingat bahwa waktu ia tersadar, ia benar – benar merasakan sedikit kekosongan dalam dirinya. Yang ternyata, ia tidak dapat merasakan sesuatu lagi dalam perutnya. Saat itu, Tira benar – benar sangat benci dengan dirinya sendiri. bisa – bisanya ia dengan ceroboh tidak memperhatikan keadaan jalanan di pasar yang saat itu sedang becek sehingga ia terpeleset dan akhirnya terjatuh dengan bagian depan tubuhnya yang menghantam jalanan terlebih dahulu. Membuatnya merasakan kesakitan yang amat sangat di bagian perutnya, ditambah lagi ia juga merasakan seperti ada cairan yang keluar dari tubuhnya. Waktu itu ia sangat yakin bahwa itu adalah darah. Sebelum ia sempat melihat kegelapan, sayup – sayup ia dapat mendengar kepanikan dari orang – orang yang saat itu ada di sekitar tempat ia terjatuh.
Sejak hari itu, saat hari dimana ia sudah diperbolehkan pulang oleh bidan di puskesmas tersebut, Tira benar – benar kekurangan semangat untuk hidup. Bahkan, untuk sementara, ia sempat melupakan kehadiran Erine dalam hidupnya. Walau begitu, ia tetap merasa tersentuh dengan kesungguhan suaminya yang selalu menemaninya tidur saat masih berada di puskesmas. Mengingat, diasana hanya ada satu kursi di samping ranjang tidurnya. Yang membuat Gilang mau tak mau hanya bisa tertidur dengan menyandarkan kepalanya ke sisi ranjang puskesmas, dengan badannya yang tetap berada di kursi. Tira yakin, posisi seperti itu pasti sangat tidak nyaman. Sudah berkali – kali Tira meminta suaminya untuk pulang saja ke rumah dan menjenguknya esok, namun Gilang tetap bersikeras mau menemaninya sampai sembuh. Bukan hanya itu, bahkan setiap kali ia melihat Tira sedang mengusap air matanya, Gilang selalu berkata bahwa ia tidak marah dengan kejadian itu. Bahkan ia bilang bahwa kehadiran Erine juga sudah membuat keluarga ini utuh. Ia selalu mengingatkan istrinya bahwa tak apa jika mereka tidak memiliki anak kandung, Gilang juga yakin, mungkin salah satu alasan mengapa takdir memilih Tira sebagai yang “terpilih” adalah karena ini.
Pilihannya menerima Gilang sebagai suaminya adalah pilihan yang paling tepat seumur hidupnya. Karena adanya kehadiran Gilang yang begitu penyabar dan penuh kasih sayang, ia bisa perlahan – lahan melupakan kejadian memilukan itu, dan mencoba untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Erine. Tira kembali menatap gadis kecil yang tampak sedang asyik bermain lompat tali bersama dengan teman – teman sepermainannya. “Dia terlalu senang, sampai tidak bisa menjawab panggilanku tadi” ucapnya menjawab pertanyaan suami beberapa menit yang lalu. “Tapi sekarang sudah sangat sore, sayang” balas Gilang lembut. “Biar aku saja yang memanggilnya. Kau siapakan saja pakaian ganti untuk Erine” Tira mengangguk dan menuruti perkataan suaminya. Dan benar saja, baru saja ia melangkahkan kakinya menuju kamar, Tira dapat mendengar suara langkah lari. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Erine. Dia memang lebih sedikit menurut kepada ayah angkatnya dan sangat manja pada wanita yang telah merawatnya selama delapan tahun itu.