“Ba!!” Tubuh Erine terhentak kaget. Ia menengok ke asal suara, ternyata itu teman dekat sekolahnya. Perempuan dengan rambut hitam lurus sebahu, tak lupa dengan senyum manis yang selalu disukai Erine.
“Riska! Bikin kaget saja” ucap Erine sambil kembali membaca buku pelajarannya. Lima belas menit yang lalu ia memutuskan untuk belajar di gubuk sawah tempat ayahnya bekerja karena suasananya yang cukup tenang ditambah angin sepoi – sepoi. Namun tiba – tiba saja Riska datang dan mengejutkannya.
“Kau masih belajar?”
“Ya. Kau lupa besok kita ujian?”
“Aku tidak lupa, aku bahkan sempat membaca buku sebentar tadi. Tapi tiba – tiba aku merasa bosan, jadi aku mendatangi rumahmu dan ternyata kau tidak ada di rumah. Ibumu bilang kau sedang pergi ke sawah. Jadi aku kemari.” Jelas Riska sambil terkekeh.
“Dimana bukumu? Kau tidak membawanya?” ucap Erine setelah sebelumnya ia melihat bahwa temannya itu tidak membawa apapun di tangannya.
Erine dapat mendengar Riska menggerutu kecil.
“Kan aku sudah bilang kalau aku ini sedang bosan. Justru aku datang kesini untuk mengajakmu ke sebuah tempat."
“Sepertinya aku kurang tertarik, Ris. Disini nyaman sekali.” Seakan mendukung ucapan Erine, tiba – tiba angin sepoi – sepoi menerpa kedua gadis itu, membuat Erine dengan refleks menutup kedua matanya; menikmati betapa segarnya hembusan angin di sore hari.
“Ayolaahh, aku sudah menemukan tempat ini beberapa hari yang lalu. Kau tidak akan meyesal Erine, lagipula tempatnya berada di pantai.”
Erine menghembukan napasnya kasar, ia menutup buku pelajarannya, lalu menatap Riska. Kenapa temannya yang satu ini senang sekali mengalihkan perhatiannya, terutama dalam hal belajar? Tapi kalau dipikir – pikir, pantai tidak buruk juga. Ia juga sangat menyukai suasana pantai. Apalagi saat sore hari seperti ini. Dimana ada suara deburan ombak yang bisa membuat hatinya terasa tenang. Lagipula, dia juga sudah belajar cukup lama. Justru ia merasa suasana pantai jauh lebih menarik saat ini.
“Baiklah, aku akan ikut denganmu ke pantai. Tunggu sebentar.”
Erina membalikkan tubuhnya menghadap sawah, dari kejauhan ia bisa melihat ayahnya yang sedang mencangkul.
“Ayah! Aku pergi dengan Riska dulu ya ke pantai!!” tanpa menunggu jawaban sang ayah, Erina langsung turun dari gubuk, tak lupa ia juga melipat bukunya menjadi dua, sehingga ia dengan mudah membawa buku pelajarannya kemana – mana.
Melihat itu, Riska menaik – turunkan alisnya, meledek Erine yang awalnya tidak mau ikut bersamanya.
“Akhirnya kau ikut juga kan? Ayo! Kalau sudah sore seperti ini pasti pemandangannya sangat bagus. Erine menggangguk, lalu mengikuti Riska dari belakang. Sebenarnya, perjalanan dari sawah ke pantai lumayan jauh. Belum lagi mereka harus melalui beberapa jalanan yang lumayan licin dan curam, sehingga sesekali Riska maupun Erine terpeleset ketika melalui jalan tersebut. Erine jadi sedikit menyesal mengikuti kemauan temannya itu. Harusnya ia menolak untuk pergi saja tadi. Entalah, alasan utama Erine selain karena ia menyukai suasana pantai, ia juga sudah sangat lama tidak pergi kesana. Ia rasa, mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, ketika ia masih berumur sepuluh tahun.
Langit sudah semakin gelap, karena perjalanan yang jauh, mereka juga beberapa kali beristirahat sejenak, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Namun, usaha mereka tidak sia – sia. Akhirnya, sampai jugalah mereka di pantai. Matahari sudah seperempat tenggelam di ujung barat.
“Ayo Erine, kita naik ke batu ini” ajak Riska yang sudah melepaskan sandalnya, bersiap untuk memanjat batu yang cukup tinggi di pantai itu.
“Riska! Jangan bercanda! Turun dari situ, hari sudah mulai malam! Bagaimana jika ayah dan ibu marah? Kau tidak takut?” ucap Erine dengan nada yang agak meninggi. Ia benar – benar tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala temannya itu.