Erine merebahkan tubuhnya di kasur. Sejenak, ia memikirkan ajakan Risma barusan. Temannya memang benar. Sesungguhnya, Erine sangat ingin ikut bersama Riska ke kota Derom. Lagipula, di kelas Riska berkata kalau mereka akan berangkat ramai – ramai bersama teman yang lain. Erine tersenyum begitu membayangkan betapa menyenangkannya pergi ke kota Derom bersama teman – teman, mengagumi betapa indahnya tempat itu, lalu mengobrol dan tertawa sepanjang perjalaan. Tapi di sisi lain, ia sangat takut jika ayah dan ibunya tidak akan mengijinkannya untuk pergi kesana, walaupun bersama dengan teman. Erine masih ingat dengan jelas betapa mengerikan ayahnya semalam.
Erine menghela napas kasar. Apa ia benar – benar tidak punya kesempatan untuk pergi ke kota itu? Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepala Erine. Mengapa orangtuanya tidak suka membicarakan kota itu? Mengapa ayahnya selalu terlihat begitu marah setiap kali Erine bertanya atau membahas kota Derom? Seperti ada sesuatu yang disembunyikan darinya tentang kota itu. Aneh sekali. Sebenarnya, ia ingin sekali bertanya lebih jauh kepada ibunya tentang kota Derom tetapi ia merasa sangat tidak enak. Erine merasa setiap kali orangtuanya membahas tentang kota itu, mereka terlihat begitu terluka namun juga seperti menyimpan dendam yang tidak dapat dibalaskan.
Apa mungkin ia sebaiknya pergi diam – diam saja? Gadis itu menggeleng pelan. Tidak seharusnya ia memikirkan hal ini, tapi setiap kali ia berusaha untuk melupakan kota itu, pikirannya tak pernah bisa lepas dari sana sebelum ia menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya. Erine mendudukan tubuhnya di kasur. Kini ia mengacak rambutnya frustasi. Sekarang ini, hanya Riska yang ada dalam benaknya. Ia rasa, mungkin sedikit bernegosiasi dengan Riska adalah satu – satunya jalan. Setuju dengan pemikirannya tersebut, lantas Erine segera bangun dan bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju pintu keluar rumah; menuju rumah temannya itu.
****
“Aku tahu kau pasti ingin ikut denganku kan??”
Disinilah mereka sekarang, duduk santai di gubuk sawah tempat ayah Erine biasa bekerja. Setelah ke rumah Riska dan meminta ijin pada ibunya untuk mengajak Riska keluar sebentar, ia membawa teman dekatnya itu untuk pergi ke gubuk sawah; tempat favoritnya, untuk mengobrol sebentar disana, sebelum ia benar – benar akan memutuskan untuk pergi bersama dengan Riska atau tidak. Namun sebelum itu, Erine sempat mendelik sebentar mendengar pernyataan Riska yang mengira bahwa dirinya akan ikut. Cih, percaya diri sekali anak itu.
“Tidak juga.” ucapan Erine barusan sanggup membuat Riska menggembungkan pipinya kesal, tak lupa sambil melipat tangannya. Erine paham betul, itu adalah salah satu cara Riska untuk membuatnya merasa tidak enak, dan akhirnya akan mengikuti apa yang Riska mau. Tapi, Erine rasa ia tidak akan merasa seperti itu untuk kali ini, resikonya terlalu besar jika ia mengikuti kemauan Riska. Bagaimana jika ketahuan, ia akan diusir oleh ayah dan ibunya? Erine menggeleng pelan. Tapi, mana mungkin orangtuanya akan setega itu?
“Lalu untuk apa kau mengajakku kesini? Jika hanya untuk berdiskusi tapi ternyata hasilnya sia – sia saja, lebih baik aku pulang lagi saja ke rumah” ujar Riska sambil beranjak untuk turun dari gubuk, namun gerakannya terhenti karena kini Erine menarik lengannya.
“Tunggu sebentar, dengarkan aku dulu sampai selesai”
Riska memutarkan bola matanya malas. Netranya menatap Erine yang kini sedang mengigit bibir bawahnya. Ia terlihat bingung dan ragu.
“S – sebenarnya, kemungkinan besar aku akan ikut. Ta-“
“YESS!!” Sorak Riska penuh gembira, ia bahkan sempat melonjak kecil saking senangnya.