Erine kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan baju – baju yang akan dia bawa nanti jika sudah sampai di kota Derom. Entahlah, Erine belum sempat memikirkan tentang tempat tinggal sementara seperti hotel atau yang lainnya. Mungkin disana ada sebuah tempat menginap yang lumayan murah? Yang penting, ia menyiapkan beberapa kebutuhan, tak lupa juga ia membawa beberapa buah – buahan sebagai pengganjal perut untuk berjaga – jaga jika nanti mereka merasa lapar saat di perjalanan.
Kegiatannya tiba – tiba terhenti sejenak. Terkadang, ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Ini sepertinya keputusan yang harus dipikirkan dua kali. Mengapa ia bisa – bisanya dengan mudah terbawa omongan Riska dan memutuskan untuk pergi bersamanya ke kota Derom? Padahal Erine tahu kalau orangtuanya sudah pasti tidak akan pernah mengijinkannya, jangankan itu; bertanya sesuatu tentang kota Derom saja, ia sudah tidak enak. Dan lihatlah ia sekarang, mengemas barang – barangnya dan bahkan sampai menyiapkan beberapa buah camilan untuk persiapan pergi ke kota yang terkenal mewah dan megah itu.
Memang, ia juga perasaran dengan perilaku warga – warga di kampungnya yang sepertinya begitu membenci kota Derom; sama seperti Riska. Tapi ia sendiri tidak mau membuat orangtuanya marah besar dengan keputusannya yang mendadak ini. Lagipula, apa kata orangtuanya nanti jika ia ditanya tentang apa motifnya untuk pergi kesana, dan ia menjawab kalau ia hanya penasaran? Erine pun duduk di pinggir ranjangnya, berpikir.
Sebuah ide muncul di kepalanya. Ia memutuskan untuk tetap minta ijin kepada orangtuanya. Erine sungguh akan merasa sangat amat bersalah jika ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Dan juga, ibunya pasti akan marah besar jika ia harus bolos sekolah beberapa hari hanya untuk pergi ke kota Derom. Dalam hati, ia sudah bertekat jika orangtuanya tetap tidak mengijinkan, maka ia juga tidak akan pergi. Erine mengangguk kecil. Setuju dengan itu, ia pun bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar ayah dan ibunya.
Dengan perlahan namun pasti, Erine membuka pintu kamar kedua orangtuanya; namun, belum sampai ia membuka pintu sampai setengahnya, netranya melihat bahwa ternyata ayah dan ibunya sudah terlelap. Tidur mereka terlihat begitu pulas membuat Erine jadi tak tega untuk membangunkan orangtuanya. Ia pun kembali menutup pintu tersebut dengan hati – hati. Gadis itu menghembuskan napasnya pelan namun terkesan kasar. ‘Bagaimana ini?’ pikirnya. Di satu sisi, ia juga ingat kalau ia juga sudah berjanji untuk menemui Riska di gubuk sawah jam delapan malam.
Otomatis, Erine menoleh ke jam yang menggantung di dinding rumahnya. Ternyata, sudah jam delapan lewat sepuluh menit. Seketika, rasa bersalahnya pada Riska pun muncul. Bagaimana jika Riska sudah menunggunya sejak tadi? Ia tidak mau temannya tersebut menganggap dirinya berbohong.
“Arghh” desisnya pelan, agar orangtuanya itu tidak terbangun.
Sekarang, ia harus memilih untuk tidak pergi supaya ia tidak dimarahi orangtuanya, atau dia harus siap – siap dijauhi oleh Riska. Baiklah, ia memutuskan untuk tidak jadi pergi dan tidur saja. Erine pun kembali masuk ke kamarnya. Membanting tubuhnya di atas kasur, dengan tubuh depannya yang menghantam kasur terlebih dahulu. Merasa kurang nyaman dengan posisi seperti itu, ia pun menyampingkan tubuhnya, sehingga ia kini menghadap tembok. Ia berusaha untuk memejamkan matanya dan tertidur. Soal baju – baju itu, akan ia bereskan nanti. Erine hanya ingin beristirahat dengan tenang saja.
Menit demi menit pun terlewati. Namun, ia tidak dapat tidur dengan tenang; setiap kali ia memejamkan mata, yang ada dibayangannya selalu saja sosok Riska yang nampak ketakutan dan juga kebingungan sambil mengharapkan kedatangannya. Hal itu membuat Erine akhirnya menyerah dengan keadaan dan membuka matanya. Dengan segera, ia mengambil beberapa baju dan buah yang sudah ia siapkan tadi. Memasukkannya kedalam tas yang biasa ia pakai saat sekolah, dan mulai bangkit dari kasurnya guna meraih pintu kamarnya; lalu keluar darisana dan berjalan ke arah pintu keluar dengan hati – hati.
Akhirnya, ia berhasil keluar dari rumah, tanpa di ketahui orangtuanya. Entahlah, ia tidak menyangka jika akan semudah ini keluar diam – diam dari rumah. Bahkan pintu rumah yang biasanya selalu dikunci oleh sang ibu, kini hanya diselot saja dari dalam. Oh hebat, lihatlah dia sekarang. Nekat pergi keluar kampung hanya bersama dengan salah seorang temannya ke kota yang bahkan begitu tidak disukai orangtuanya. Tapi, mau bagaimana lagi? Ia rasa jika ia tidak menemui Riska sekarang, ia tidak akan pernah bisa tidur semalaman.
Setelah memastikan bahwa kakinya sudah memakai sandal, ia pun lantas berjalan menuju gubuk di sawah tempat ia biasa belajar, atau sekedar bersantai, atau bahkan tak jarang gubuk itu dijadikan sebagai tempat untuk makan siang bersama ayahnya sambil diselingi obrolan – obrolan ringan. Sekarang, ketika memikirkan hal tersebut, ia jadi mengira – ngira; apakah sang ayah akan tetap mau makan bersama dengannya lagi seperti dulu?