Kedua gadis itu kini sedang berada di semak – semak. Riska memutuskan untuk tidak berlari, karena itu akan membuat wanita tadi bisa mendengar suara derap kaki mereka. Maka dari itu sekarang ini, mereka mengikuti wanita tersebut dengan melangkahkan kaki mereka selebar mungkin. Erine bingung, otaknya masih memproses kejadian demi kejadian yang baru saja terjadi; berbeda dengan Riska yang saat ini merasa sangat beruntung karena ia sedang mendapatkan jackpot.
Erine terlalu sibuk bertaut dengan pemikirannya sendiri, sampai – sampai ia tidak sadar kalau saat ini Riska telah berhenti sehingga membuat gadis itu menabrak punggung Riska. Otomatis Erine mengaduh pelan sambil menggosok kepalanya.
“Hey! Kenapa kau berhenti tiba – tiba seperti itu hah?”
Perkataannya barusan sukses membuat Riska membalikkan badannya menghadap Erine sembari meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
“Shhh!! Jangan bicara keras – keras” bisiknya, namun dengan nada marah; membuat Erine menatap gadis itu tak percaya. Yang benar saja, kenapa sekarang jadi dia yang marah?
Mengerti dengan arti tatapan Erine yang di layangkan padanya, Riska lantas memutar bola matanya, lalu kembali membalik badannya sehingga ia bisa kembali mengawasi wanita tadi.
“Kau lihat? Wanita itu sudah berhenti berlari. Maka itu aku juga berhenti.”
Erine mengikuti arah pandang temannya itu. Ternyata benar, wanita itu berhenti dengan napas yang terengah – engah, tubuhnya membungkuk dengan tangannya yang sedang memegang kedua lututnya; kelelahan karena habis berlari. Tak lama kemudian, wanita itu kembali berdiri tegak dan mulai berjalan perlahan menuju ke suatu benda besar yang tak jauh terletak disana.
Wanita tadi mengeluarkan kunci mobil, membuat benda besar tersebut berbunyi; tak lupa dengan kedua lampu depannya yang ikut menyala, mengikuti bunyian tadi. Hal tersebut membuat kedua gadis kampung yang masih bersembunyi di semak itu melebarkan mulutnya. Baru pertama kalinya mereka melihat benda itu. Namun tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengagumi hal baru pertama kali nya mereka lihat itu; karena sekarang ini, mobil tersebut sudah melaju dengan kecepatan sedang. Riska membulatkan matanya. Ia lagi – lagi menarik tangan Erine.
“Itu ternyata sebuah kendaraan! Ayo Erine, kita kejar! Kalau tidak, kita akan tertinggal menuju ke kota Derom”
Mau tak mau, Erine pun menuruti kemauan temannya itu. Erine sebenarnya sudah sadar kalau sekarang ini mereka sudah berada di luar kampung Manden. Tapi mungkin Riska tidak menyadari hal itu karena dia sekarang ini sedang berfokus untuk mengejar wanita tadi.
****
Wanita cantik tadi menyetir mobilnya dengan tenang. Jari – jari lentiknya mengarah menuju ke radio, mengotak – atik benda tadi. Tak lama, jarinya pun terlepas dari benda itu setelah menemukan siaran lagu kesukaannya. Suara alunan musik classic jazz pun terdengar dalam mobil itu. Membuatnya rileks dan setidaknya lagu itu mampu membuatnya sedikit tenang dengan kegiatan yang barusan ia lakukan di kampung tadi dengan alunan musik tersebut. Mata indahnya pun melirik spion kanannya, ia melebarkan matanya tak percaya dan terkejut setengah mati melihat ada dua anak remaja yang kira – kira sudah belasan tahun itu nampak sedang mengejar mobilnya.
Kaki jenjangnya pun menginjak gas mobil, melajukan kendaraannya hingga kecepatan maksimal. Ia benar – benar panik sekarang. Ia yakin sekali tadi di kampung itu tidak ada siapapun. Kampung tadi terlihat sangat sepi. Tapi, mengapa tiba – tiba ada dua orang anak remaja yang sedang mengejarnya?
Mobilnya pun berhenti di sebuah gerbang lebar nan besar; dimana di atas gerbang tersebut berdiri sebaris tulisan “Derom City : The City of Beauty” terlihat ada dua buah pos jaga di masing masing ujung gerbang besar itu. Wanita itu dapat melihat tiga orang penjaga di depan sana; salah satu dari mereka mendekat ke arah mobilnya. Setelah sampai di depan kaca untuk pengemudi, penjaga tersebut mengangkat tangannya; membentuk sikap hormat. Si wanita menurunkan kaca mobilnya.
“Pak, tadi ketika meuju perjalanan kemari, aku melihat ada dua orang remaja perempuan yang sedang mengikutiku. Bahkan mereka sampai mengejarku. Aku merasa sangat takut dan terancam; tolong pak, jika anda melihat mereka disini, jangan biarkan mereka masuk.” Ucapnya dengan nada yang terdengar begitu panik.
“Itu sudah menjadi kewajiban kami untuk menjaga kota Derom dari ancaman – ancaman. Ngomong – ngomong, jika saya tidak salah menebak, apakah anda sehabis pergi dari kampung Manden?”