Mind vs. Machine

Kiara Hanifa Anindya
Chapter #8

Chapter 8: Tetap Berusaha Walau Tak Ada Teman

Silvi terbangun dari mimpi buruk semalam. Dia melirik ke kakaknya, yang masih terlelap di samping kirinya. Setelah meneguk sedikit air putih, Silvi berjalan ke luar kamar untuk berwudu dan shalat Subuh.

Usai shalat, Silvi kembali melirik ke Laura. Pelupuk mata kakaknya itu tampak kehitam-hitaman. Pasti dia lagi capek, begitulah isi pikiran Silvi. Dia memutuskan untuk menyiapkan sarapan bagi kakaknya.

Di dapur, dia mengambil persediaan roti tawar di kulkas. Dia mengambil pula selai cokelat, susu kental manis, serta meses yang tinggal sedikit.

Silvi juga ingin membuat teh panas. Dia mencari-cari termos dan berusaha menuangkan air panas ke dalam gelas. Tiba-tiba, termos tersebut jatuh terguling mengenai kakinya, sehingga air panas itu tumpah. Kaki kanan Silvi sakit terbentur termos, ditambah dengan panasnya air yang tumpah.

“Kakak… sakiiiit!” teriak Silvi sambil mengangkat termos tersebut dan memegangi kakinya.

Tak ada balasan. Silvi menangis dan menatap kakinya yang merah. Dia terpincang-pincang mengambil lap, lalu mengeringkan kakinya sendiri sambil terisak.

“Kakak, toloooong…” lolong Silvi.

Suara itu hanya bergema di dapur. Silvi tidak tahan lagi. Dia berteriak-teriak tidak karuan, meminta pertolongan sang kakak.

***

Laura menggeliat sebentar, lalu mengucek-ngucek matanya. Diliriknya handphone, yang menunjukkan pukul 05:21. Laura segera bangkit, merapikan kasurnya, dan berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil.

Ketika keluar dari kamar mandi, Laura mendengar suara meminta tolong dari arah dapur. Dengan langkah panjang-panjang, Laura buru-buru menghampiri dapur dan membuka pintunya.

“SILVI! Kamu kenapa?” Dirinya terkejut melihat sang adik duduk di lantai sambil memegangi kakinya.

Silvi lega karena akhirnya sang kakak menolongnya. Dia meringis kesakitan, lalu menjelaskan apa yang terjadi.

“Oooh, gitu. Harusnya kamu jangan bikin teh dulu kalau belum bisa tuang airnya. Bilang aja sama Kakak,” ucap Laura sambil memapah adiknya dan mendudukkannya di kursi.

“Tapi aku, kan, kepengin belajar. Masa dari tahun ke tahun, cuma Kakak yang bikinin teh buat aku?” gugat Silvi.

Laura tersentuh. Dia tersenyum kecil sambil mengambil es batu dari kulkas, lalu menempelkannya ke kaki kanan Silvi. Sambil menunggu adiknya pulih, Laura mengepel kubangan air panas tadi dan memasak air lagi.

Setelah membuat teh panas, mereka berdua sarapan bersama lalu mandi bergantian. Setelah itu, mereka bersiap ke sekolah.

“Sudah dikunci semua ruangannya?” tanya Laura sambil memakai sepatu.

“Sudah, Kak. Nih, kuncinya,” ujar Silvi sambil melemparkan serenteng kunci.

Lihat selengkapnya