Mind vs. Machine

Kiara Hanifa Anindya
Chapter #9

Chapter 9: Kehilangan Alibi

Besoknya sepulang sekolah, Laura pergi ke lab komputer, dan mendapati Pak Gibran sudah menunggu sambil bermain handphone.

“Assalamualaikum, Pak,” sapanya dengan sopan.

“Waalaikumussalam. Silakan duduk,” ucap Pak Gibran sambil mematikan handphone-nya. “Udah shalat?”

“Maaf, Pak, saya lagi menstruasi,” tanggap Laura sembari mengambil kursi dan duduk di atasnya.

“Oalah… Ya, sudah, nggak apa-apa,” Pak Gibran tersenyum ramah. “Kamu mau tahu penjelasan tentang sistem pembuatan AI itu gimana?”

“Betul, Pak,” sahut Laura sambil mengangguk.

“Ya, kebetulan saya sudah browsing-browsing di Google buat dapat info lebih lanjut. Tapi terus terang, kok, kamu nekad mengusut misteri kayak beginian?”

“Ngng… nggak apa-apa, kok, Pak. Saya, kan, cuma cari pengalaman doang. Lagian… saya ini agak kepo, Pak, makanya saya kepingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik Echo.AI ini.”

“Kepo,” Pak Gibran tertawa spontan. “Yaaah… saya udah menebak dari tadi bahwa kamu pasti kepo sama sesuatu. Hahaha… eh, sorry, sorry, Nak, Bapak nggak maksud bikin kamu tersinggung. Tadi cuma spontan, kok.”

It’s okay, Pak Gibran. Saya juga awalnya agak geli menyadari sifat saya emang kepoan. Ternyata sifat itu kebawa sampai SMP. Tapi tenang, Pak, keponya saya itu nggak sampai menyebalkan, kok.”

“Iya, iya, saya tahu. Sudah, mari kita lanjut ke penjelasan mengenai AI ini.”

Laura memasang telinga dengan saksama. Pak Gibran membenahi posisi duduknya, lalu mulai menerangkan dengan bahasa yang mungkin agak sulit dipahami Laura.

“Paham, Nak?” tanya Pak Gibran setelah menjelaskan.

Laura ragu sejenak, lalu menjawab, “Paham, paham.”

“Intinya, orang yang kepingin bikin AI itu harus mikir dulu, ini AI-nya mau buat apa. Kalau ternyata nggak berguna, ya, nggak usah bikin aja sekalian.”

“Tapi, Pak, Echo.AI-nya, kok, malah berbalik arah, ya? Dia malah mengancam saya. Nggak tahu tujuannya apa.”

Lihat selengkapnya