Laura merebahkan diri ke kasur di kamarnya. Dia capek sekali, keringatnya mengucur deras. Silvi belum pulang sekolah, mungkin kerja kelompok atau masih main dengan teman-temannya. Laura sendiri tidak bisa kumpul-kumpul lagi. Dia, kan, sudah “bercerai” dengan Lily dan Citra.
Dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya, Laura berderap menuju dapur. Dia mengambil wajan dan mulai menggoreng telur untuk makan malam. Sesudah itu, dia mandi bersih-bersih dan mencuci baju yang tertumpuk di ember. Baru beberapa menit kemudian dia bisa istirahat dengan tenang di ruang tamu.
Pintu depan rumah terbuka. Silvi memasuki ruangan, dengan rambut acak-acakan dan seragam yang penuh lumpur. Laura menghentikan lamunannya saat itu dan menghampiri Silvi.
“Hei, jangan masuk ruang tamu dulu!” larangnya. “Kamu habis ngapain? Kok, kotor gitu?”
“Habis main, Kak. Terus, aku jatuh ke lumpur, jadinya begini, deh,” balas Silvi.
“Aduuuh… jalan itu pakai mata, dong! Nih, lap dulu noda lumpurnya di luar. Jangan masuk kalau masih ada lumpur yang menetes!”
Setelah mengeringkan seragamnya dengan lap bekas, Silvi melesat ke kamar mandi dan melucuti pakaiannya satu per satu. Dia mandi sementara Laura mencuci seragamnya yang kotor. Tugas menjemur pakaian diserahkannya pada sang adik.
***
Laura duduk bersila di atas kasur, matanya tertuju pada layar ponsel yang kini berada dalam mode pesawat. Ia telah mencari berbagai informasi tentang Echo.AI, namun hasilnya nihil. Tidak ada ulasan lengkap, tidak ada catatan resmi, bahkan namanya pun seperti tenggelam dalam lautan teknologi yang lebih populer.
"Ini aneh…" gumamnya.
Seseorang pasti telah membuatnya, tapi mengapa identitas penciptanya begitu tersembunyi? Tidak ada dokumentasi yang jelas, tidak ada jejak yang bisa diikuti. Seolah AI ini muncul dari kegelapan dan berjalan tanpa arah yang bisa ditebak.