“L-Lily? Citra?”
Kedua perempuan itu berdiri di belakang Laura. Dengan tatapan sinis, mereka melirik malas ke gadis yang baru saja mereka pergoki tingkahnya.
“Ngapain lo berdua di sini?” tanya Laura, harga dirinya langsung naik.
“Lo sendiri ngapain di sini?” tukas Citra.
Laura mengangkat kepalanya. “Itu bukan urusan kalian berdua. Gue tanya, mau apa kalian ikutin gue?”
Citra menggelengkan kepala. “Nggak penting apa yang kami lakukan. Lo ngapain, coba? Ngikutin Pak Daniel, ya?”
Dada Laura naik turun. Dia merasa tidak enak begitu kelakuannya disinggung-singgung.
“Lo itu, ya, emang nggak pernah berhenti kepo sama urusan orang lain. Emang segitu pentingnya, ya, urusan elo? Mending tinggalin jauh-jauh, deh, sebelum kena akibatnya.”
“Apaan, sih, Cit?” Laura tersinggung. “Kalau lo sama Lily nggak setuju, ngapain komplain? Ini urusan gue pribadi. Nggak usah sok peduli, keleus. Lo, kan, udah nggak mau berteman sama gue, ngapain sekarang, kok, sengaja datengin gue?”
Lily angkat bicara. “Justru karena itu, kami kepingin mengingatkan lo sekali lagi, Laura. Bahaya mencampuri urusan orang lain itu. Lalu…”
“Stop,” potong Laura dengan nada angkuh. “Gue nggak butuh nasihat kalian sama sekali. Gue mau mengurusi misteri ini sendirian, tanpa diganggu. Kalian boleh aja, sih, datang terus minta maaf ke gue, tapi nggak usah ikut urusan gue. Kalian bukannya nggak mau terjun ke masalah, ya?”
“Minta maaf? Heh, jangan harap, Laura. Buat apa kami minta maaf ke orang yang nggak mau minta maaf duluan? Cih, buang-buang waktu aja. Mending waktu kami dihabisin buat menasihati lo aja. Lo paham, nggak, sih, sama kata-kata gue?”
“Terus kenapa? Gue, kan, nggak perlu tanya dua kali buat paham. Udah, deh, daripada kesabaran gue habis, mending jauh-jauh dari sini. Ingat, ya, nggak usah nasihati gue kalau elo belum minta maaf ke gue.”
Citra mengajak Lily kembali ke lab komputer. Sambil berbalik badan, Citra berkata, “Oke. Awas aja, ya, kalau elo nyesel dan minta bantuan ke kami. Sebelum nyalahin orang lain, instropeksi diri dulu, dong!”