Selasa depannya, Laura memutuskan untuk menemui Pak Daniel. Dia sudah bertekad untuk konsultasi dengan guru itu masalah mimpinya.
Tapi perlukah aku konsultasi ke Pak Gibran? tanyanya dalam hati. Enggak usah, deh, lagian orangnya, kan, lebih sibuk dari Pak Daniel. Kasihan kalau dicampuradukkan sama urusan gini.
Laura pergi ke ruang lab komputer lebih awal. Dua sahabatnya masih berada di kantin untuk jajan. Laura sengaja kabur supaya bisa punya waktu untuk mengobrol sebentar dengan guru ekstrakulikulernya.
Benar saja, Pak Daniel berada di ruangan tersebut. Beliau sibuk memainkan handphone-nya. Barangkali lagi scroll media sosial, begitu batin Laura.
“Pak Daniel,” sapa Laura.
Sang guru terkejut, mematikan handphone, lalu bertanya, “Eh, iya, kenapa?”
“Maaf kalau saya nggak sopan. Tapi saya butuh ngomong sama Bapak. Nggak ada kesibukan lain, kan?”
“Nggak, kok. Silakan, mau ngomong apa?”
Laura bersyukur Pak Daniel agak lebih terbuka daripada Pak Gibran. Mungkin Pak Daniel mau mendengarkan cerita Laura dengan senang hati. Gadis itu akhirnya bercerita tentang mimpinya, sekaligus tentang teorinya.
Pak Daniel mengembuskan napas. Tak percaya murid ekstrakulikulernya lebih pandai dari dirinya.