Suara ambulance membuat kepalaku makin pusing, Apa yang terjadi pada kami saat ini? Tuhan aku tak ingin mati sekarang, tong aku Tuhan. Suara sirine itu makin membuatku pusing dan membuatku bermimpi tentang masa lalu.
Hai namaku Bulan Amanda Wijaya sebentar lagi umurku 17 tahun dan aku akan lulus dari sekolah menengah atas, aku sangat senang sekali sekaligus sesih karena harus meninggalkan masa-masa indah. Benar saja tepat dihari ulang tahunku aku harus menikah denganya. Pernikahan itu berlangsung sangat sederhana, hanya dihadiri oleh teman dekatku dan keluarga saja. Bukannya aku tak ingin pesta mewah tapi aku hanya tak ingin membebani kedua orang tuaku di akhir baktiku pada mereka. Aku masih belum bisa menghasilkan uang jadi aku tak ingin menghambur hamburkan uang orang tuaku hanya untuk pesta sesaat. Semua orang amat sangat bahagia kecuali kami kedua mempelai yang harusnya ini jadi moment bahagia di hidup kami. Setelah selesai akad nikah di KUA dan berbincang sebentar dengan teman dan keluarga kami kembali ke rumah orang tuaku. Orang tua Bintang menyuruh kami tinggal di kontrakan milik keluarga mereka dengan sewa gratis sampai kami punya cukup uang untuk bisa punya rumah sendiri.
Kami berangkat memakai mobil sewaan yang kami pakai menikah. Mobil itu mengantarkan kami pada lingkungan rumah di pinggir kota dengan pagar tinggi terpisah dari rumah penduduk, rumah kontrakan itu ada 5 dan saling berhadapan satu sama lain didepan setiap rumah berjejer jemiran besi untuk mempermudah para penghunibkontrakan barang-barangnya sudah tersedia di dalam dengan harga sewa yang cukup tinggi saat itu. Rumahnya sangat nyaman karena berada di lingkungan yang asri dan oenuh dengan pohon buah-buahan. Tapi yang kufikirkan saat itu ini akan jadi tempat horror bagiku, karena kebanyakan nonton fil horor membuatku tak suka berada di tempat yang banyak pepohonannya.
Rumah kontarakan kami terdiri dari 4 ruangan dengan dihalangi tembok ada 1 kamar,1 kamar mandi dan ruang dapur kecil ruang tamu dengan berbagai macam perabot di dalamnya, rumahnya kecil tapi cukup bagi kami, di daerah pinggiran kota seperti ini sewa tanah pasti melambung tinggi jadi wajar saja kalau kontrakan itu luasnya tak terlalu besar dan harus terbagi bagi. Kami mulai beres-beres dan mandi, kami sangat canggung saat itu. Kami hanya duduk dan menonton tv atau bermain handphone .mencari-cari kegiatan agar kami tak merasa bosan. Dia mulai berbicara denganku menanyakan banyak hal dan hari itu kami habiskan dengan mengobrol.
Di hari-hari berikutnya kami mulai bisa beradaptasi dengan keadaan dan lingkungan, kami dibekali cukup uang dari hasil amplop para tamu sampai kami mencari pekerjaan, aku mulai memasak masakan yang kubisa dan menghemat uang yang ada.
Sebenarnya aku bukan anak yang terlahir berkecukupan, ayahku memang bekerja sebagai guru honorer dengan gaji hanya 200ribu , ibuku seorang ibu rumah tangga namun ibuku cukup pintar mengatur keuangan sehingga aku bisa lulus sma dengan mengandalkan gaji ayahku. Memang ayahku tak hanya mengajar di sekolah formal namun beliau juga mengajar les private dan sering membantu tetangga membenarkan elektronik, ayahku adalah pahlawan terbaik bagi kami beliau banyak sekali keahlian. Aku adalah anak tunggal mereka bertahun-tahun ibuku mencoba hamil lagi agar aku ada teman namun Tuhan berkata lain ada tumor di rahim ibuku dan mengharuskan rahimnya di angkat. Namun mereka tetap bahagia walau hanya punya aku seorang. Aku sangat berat meninggalkan kedua orang tuaku namun ayahku bilang kalau sekarang aku adalah ratu bagi suamiku, aku harus terus disisinya dan mentaatinya.
Kabar buruk datang dari kedua orang tua Bintang mereka harus bercerai, Ibu kandung Bintang yang menggugat awalnya aku heran kenapa mereka bercerai padahal mereka selalu terlihat bahagia dan adem ayem saja, ternyata Ibu Bintang sakit keras dan tak mau membuat ayah dan Bintang bersedih akhirnya Ibu Bintang mencari banyak alasan agar ayahnya Bintang mau menceraikannya dengan bilang kalo dia tak sanggup lagi hidup dengan ayah Bintang. Sedih sekali rasanya memgetahui kenyataan ini setelah itu ibu Bintang memang tak mampu bertahan hidup kanker paru parunya sudah stadium 4 dan harus meninggal di usia yang masih 35 tahun. Ayah Bintang bertemu dengan seorang janda satu anak berumur 60 tahun, karena terpukul dengan ibu kandung Bintang yang usianya lebih muda ayah Bintang mencoba membuka lembaran baru dengan yang lebih tua darinya walaupun memang mereka tidak akan bisa mempunyai anak lagi. Mereka hidup bahagia hingga ayah Bintang menidap sakit yang sama seperti almarhumah kanker paru-paru yang ternyata beliau adalah perokok aktif dan tak bisa berhenti, beliaupun meninggalkan kami semua di usia 40 tahun. Bintang sangat terpukul atas kepeegian kedua orang tuanya, untung saja Ibu tirinya selalu menenangkan Bintang dan menganggap Bintang seperti anak kandungnya. Karena bakti suamiku Bintang pada Ibu tirinya aku diharuskan memgurus ibu tiri bintang juga, anak perempuannya masih keci aku sering bawa main kemana-mana. Dan memang pekerjaan rumah tangga mereka aku yang mengerjakan, selagi aku mampu. Namun entah setan darimana hingga aku selalu larut dalam kesedihan dan keputus asaan menghadapi hidup ini. Aku dibuat sangat lelah dan selalu marah-marah kalau aku selesai bekerja dan melihat suamiku sedang istirahat.
" Enak banget ya jadi kamu kerjaannya cuma leha leha sedangkan aku kerja keras kesana kemari " ucap Bintang dengan nada tinggi
" apaan sih kamu baru datang udah marah marah ga jelas"