"Jika ditinggalkan adalah bagian dari hidup kamu, buat apa aku ada di sini? Buat apa Tuhan mendatangkan aku ke dalam kehidupan sempurna yang kamu miliki? Buat apa?!"
Kepalaku kembali pening, suara miliknya masih berlarian dalam kepalaku. Aku berdiri dari dudukku, berjalan ke arah cermin panjang yang terletak di sebelah kanan ranjang.
Penampilanku kacau. Rambut panjang yang acak-acakan—entah sudah berapa hari tak disisir, wajah yang pucat karena terlalu banyak menangis, kantung mata yang terlihat sangat jelas, dan sebuah piama berbahan satin yang terlihat begitu mengenaskan—kusut di mana-mana.
Aku kembali duduk di atas ranjang, mencari-cari ponsel yang tak tersentuh sama sekali beberapa hari ini. Cukup lama aku mencari, hingga aku menemukannya di bawah ranjang. Aku meraihnya, lalu menghidupkan ponsel itu. Ada puluhan pesan dan panggilan tak terjawab. Namun, tak ada satu pun pesan atau panggilan darinya.