Mine

Mizan Publishing
Chapter #2

Chapter 1

Seorang gadis dengan kucir ekor kuda mengelus dadanya berulang kali. Napasnya memburu karena sang abang dengan “baiknya” membuat dia telat masuk.

“Dasar abang durhaka!” umpatnya sambil memperbaiki papan nama dan tas kresek yang dia jinjing. Jantungnya masih berdebar, takut sekaligus lega karena dia bukan satu-satunya yang terlambat. Sebuah suara memanggilnya dengan bentakan yang sukses membuat debaran jantungnya semakin meningkat.

“Kamu yang namanya Kecebong, ke sini!” bentak seorang cowok dengan seragam biru, khas panitia Ospek.

Gadis berkucir kuda itu celingukan. “Saya, Kak?” tanyanya, menunjuk dirinya sendiri dan berharap ada orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya.

“Bukan lo, tapi noh yang di sana!” Dia menunjuk ke arah samping, diikuti ekspresi lega. Ekspresi itu tertangkap oleh seniornya, membuat sang senior kesal. “Lo, lah! Emang siapa lagi namanya Kecebong? Cepet ke sini. Udah telat, sok polos lagi.”

Gadis bernama lengkap Arnetta Zahra Prasetya itu mendesah. Sepertinya, hari ini benar-benar sial baginya. Netta buru-buru menghampiri seniornya dengan takut. Ditatapnya sang senior dengan pandangan ragu.

“Maaf, Kak, saya terlambat,” katanya pelan, dia berdoa dalam hati seniornya tidak akan menghukumnya. Matanya sesekali menatap sekekeling. Dasar abang sialan, umpatnya dalam hati, saat pandangannya menangkap Arya yang tertawa di ujung koridor.

“Woy! Denger enggak yang gue bilang?!” Senior itu tiba-tiba membentak Netta, membuat gadis itu terlonjak kaget.

“Maaf, Kak,” cicit Netta. “Kakak bilang apa tadi?” Dia memberanikan diri untuk menatap senior yang ada di depannya. Sang senior menghela napas, Netta sudah siap untuk menerima omelan khas senioritas.

“Kamu lihat cowok yang di sana?” Bukan omelan yang dia terima, melainkan pertanyaan. Pandangan Netta mengikuti telunjuk seniornya ke arah cowok dengan headset yang mengepit kedua telinga. Setelah menemukan sosok yang ditunjuk, Netta pun mengangguk.

Cowok itu mengulurkan bunga dan surat cinta ke arah Netta. “Tembak dia pake surat sama bunga ini!” perintahnya, seakan “menembak” adalah hal yang mudah seperti mengunyah kacang.

Mata Netta mengerjap beberapa kali, mulutnya melongo mendengar perintah tersebut.

“A ... apa, Kak? Coba ulangi, Kak!” Dia salah dengar, kan? enggak mungkin seniornya menyuruh dia menembak kakak kelas. Seumur-umur, Netta tidak pernah menembak cowok. Dan, ini cowok yang Netta enggak kenal sama sekali. Ogah pake banget.

Seniornya berdecak, “Lo budek, ya? Sana cepat tembak atau lo milih lari dua puluh putaran di lapangan itu!” ancamnya sambil menunjuk ke arah lapangan yang sangat luas.

Netta meneguk ludahnya sebelum menjawab, “I-iya, Kak.”

Senior itu mengangkat sebelah alisnya, “Iya apa?”

“Nembak kakak yang tadi ditunjuk,” balas Netta hati-hati. Dalam hatinya sumpah serampah terlontar untuk senior yang ada di depannya ini. Semoga dia masuk ke selokan dan enggak pernah bisa keluar.

Lihat selengkapnya