Teriakan dari semua sudut, gebrakan meja, bahkan celotehan tak jelas terdengar dari kantin. Surga bagi mereka yang kelaparan. Terlihat antrean panjang di beberapa konter penjual makanan. Bau keringat tercium dari segala arah. Maklum, setelah diumumkan waktunya istirahat, tanpa perlu konfirmasi mereka langsung mengarah ke kantin.
“Netta, sini cepetan!” Haru melambaikan tangannya, memanggil gadis berkucir kuda. Tanpa menunggu lama, Netta menghampirinya dengan langkah lebar.
“Gila, rame amat! Gue kirain enggak bakal dapet meja,” gerutu Netta sambil menjatuhkan dirinya ke kursi. Dia berdecak kagum dengan suasana yang seperti pasar itu.
“Lo mau makan apa?” Haru bertanya sambil menoleh ke arah Netta.
Netta mengedarkan pandangannya, menatap satu per satu pedagang yang ada di sana. Enaknya apa, ya? Soto, mi goreng, nasi kucing, atau nasi kuning? “Oke, nasi goreng, sama jus jeruk,” jawabnya semringah.
Haru mendengus, seharusnya dia tak perlu bertanya. Karena, apa pun makanan yang tersedia, gadis kecil itu akan memilih nasi goreng dan es jeruk. Selalu. “Ya, udah tunggu, gue pesenin lo sama Aura.” Cowok dengan rambut cepak itu bangkit, meninggalkan Netta sendiri di sana. Netta mengetukkan jemarinya di atas meja, kepalanya bertumpu di tangan kanan. Ke mana sahabat gilanya itu pergi?
Di lain tempat, Aura keluar dari toilet dengan wajah superlega. Ketika semua orang memutuskan untuk pergi ke kantin, Aura memutuskan pergi ke kamar mandi.
“Aura!”
Langkah Aura terhenti. Debaran jantungnya tiba- tiba meningkat. Dia tahu suara itu milik siapa, sangat tahu. Perlahan, dia menoleh dan menyesal pada saat bersamaan. Jantungnya semakin menggila saat bertatapan dengan wajah orang yang dia sukai sejak dulu.
“Hai, Kak Arya!” Aura berusaha bersikap normal, menutupi rasa bahagia dan gugupnya. Arya, kakak kandung Netta sekaligus cinta pertama Aura. Cowok yang sukses membuatnya merasakan jatuh cinta diam-diam selama bertahun-tahun.
Arya tersenyum manis. Dia menghampiri Aura dengan tangan di dalam saku celana. “Sendiri aja? Adek gue sama Haru mana?”
“Udah ke kantin duluan kayaknya, Kak.” Aura menjawabnya dengan lembut. “Kakak enggak ke kantin?”
Arya tertawa renyah, lalu menggeleng pelan. “Enggak. Salamin ke adek gue, ya. Bilangin, ‘Selamat dapat cowok baru.’”
Aura manggut-manggut, sekaligus terkesima dengan senyuman Arya. Jangan salahkan dirinya bersikap seperti itu. Salahkan Arya yang sukses membuatnya sering kali berpikir konyol.
“Gue pergi dulu, ya. Temen gue udah manggil, tuh!” Arya menunjuk ke arah belakang Aura, yang diikuti oleh gadis itu. Maklumlah segala hal yang berkaitan dengan orang yang dia suka akan membuat dia kepo setengah mati.