Besok sore, sepulang sekolah, Saki sudah berada di depan gerbang besi setinggi dadanya. Gerbang itu selalu berada dalam keadaan terkunci, sehingga tentu saja orang lain akan enggan mengunjungi rumah ini.
"Aku di depan," ujar Saki via telepon. Sambungan langsung diputus oleh Haru. Tak menunggu lama, pemuda ber-hoodie itu keluar dari rumahnya. Ia membuka gerbang lalu menyuruh Saki untuk masuk.
Saki mengekori langkah Haru sembari melihat-lihat pekarangan rumah. Ukurannya luas, namun gersang. Tak terlihat satu pun tanaman, hanya ada rumput-rumput liar yang menjulang tinggi. Lalu di tengah pekarangan itu ada bekas batang pohon yang ditebang.
Haru sudah masuk duluan, sementara Saki sibuk membuka kacamata dan maskernya. Ia juga membuka jaket parkanya lalu mengibaskannya untuk membersihkan dari tempelan serbuk bunga. Saki terlihat kewalahan, namun hal itu justru membuat Haru tersenyum geli.
"Repot ya punya alergi," ledeknya. Saki hanya merengut. Ia pun memasuki rumah setelah yakin kalau seluruh perlengkapannya sudah bebas dari serbuk bunga.
Suasana di dalam rumah terasa sunyi. Tidak ada siapapun yang menyambut kedatangan Saki. Sepertinya hanya Haru yang berada di sini. Tapi, masa iya dia tinggal tanpa keluarga di rumah yang cukup besar? Lagipula bukankah ada anggota keluarganya yang meminta ijin ke pihak sekolah?
Penerangan hanya mengandalkan sinar matahari. Tapi, karena pintu dan jendela ini selalu tertutup, sekitarnya pun terlihat remang-remang. Benar-benar terasa seperti memasuki rumah hantu.
Sebuah bingkai foto menarik perhatian Saki. Tampak seorang anak laki-laki diapit oleh ibu dan ayahnya. Mungkinkah ini adalah foto Kiseki Haru semasa kecil bersama kedua orang tuanya? Pada latar belakang fotonya terlihat taburan bunga sakura. Jadi, kemungkinan diambil pada saat momen hanami.
Kalau begitu, Kiseki Haru dulunya tidak phobia bunga sakura. Lalu apa penyebabnya sekarang ia jadi sangat takut terhadap bunga sakura? Sebenarnya, Saki belum melihat langsung reaksi Haru saat berhadapan dengan bunga sakura. Apakah penyakitnya separah itu sampai ia tidak bisa ikut kelas selama satu bulan?
"Apa yang kau lihat?" Suara Haru yang menghentak mengagetkan Saki. Dengan gugup, ia menggeleng cepat.
"Ayo ke atas." Ia menunjuk ke lantai dua. Saki mengangguk lalu mengikuti langkah pemuda itu. Mereka tiba di kamar milik Haru yang gelap karena tertutup tirai. Dekorasinya memang rapi, namun kegelapan di kamar itu membuatnya tak nyaman.
"Bisa buka tirainya?" Saki langsung menerima sorotan sinis dari Haru karena permintaannya. Sebuah gelengan menjadi jawaban untuknya.
"Nyalakan lampu saja."
"Tapi, di luar…."
Haru menekan saklar. Lampu kamar menyala, menerangi isi ruangan. Saki lagi-lagi geleng-geleng kepala oleh sifat aneh pemuda itu. Dalam hati, Saki berjanji kalau selanjutnya ia tidak akan datang lagi ke rumah Haru Kiseki apalagi dekat dengannya.
Di tengah kamar, ada meja bundar dengan beberapa bantal kursi. Haru mempersilahkannya duduk, sementara ia ke bawah untuk mengambil snack dan minuman. Saki bertopang dagu sambil memperhatikan langit-langit kamar. Ia merasa bosan. Pandangannya pun mengarah pada jendela yang tertutup tirai.
Saki beranjak dari tempatnya menuju ke jendela lalu mengintip pemandangan di luar. Ia terpana menyaksikan pohon-pohon sakura yang tumbuh di pekarangan rumah lain. Di ujung jalan, ada taman yang juga dipenuhi oleh bentangan pohon sakura. Saki berdecak kagum. Namun, dari situ ia juga paham kenapa Haru membiarkan jendela kamarnya tertutup rapat.
"Apa yang kau lihat?"
Saki tersentak lalu berpaling. Haru mematung di ambang pintu dengan membawa snack dan minuman kaleng. Wajahnya pucat seolah takut Saki akan menyingkapkan tirai kamarnya.
"Ma-maaf," Saki langsung kembali ke meja. Setelah kondisi kamarnya tetap seperti semula, Haru yang mulai kembali tenang meletakan snack dan minuman di atas meja. Setelah itu, Saki memperhatikannya mengambil buku bahasa inggris dari meja belajar.
Kegiatan belajar mereka dimulai. Saki tidak bisa menikmati momen ini. Pemuda itu sangat kaku dan pasif. Kebanyakan suara Saki yang terdengar saat menjelaskan materi. Sedangkan Haru hanya manggut-manggut. Gadis itu jadi ragu, sebenarnya ia mendengarkan penjelasannya atau tidak?
"Mengerti?" Saki menaikan sebelah alisnya, menatap mata pemuda itu. Haru hanya mengangguk dengan wajah setengah menunduk.
"Ya sudah coba kerjakan." Saki menyerahkan buku paket, membiarkannya menyelesaikan soal sendiri. Gelagat Haru membuatnya kesal sendiri.
Haru mengambil pensil lalu mulai mengerjakan soal satu per satu. Layaknya seorang sensei, Saki bersedekap sambil mengawasinya. Ia sedikit penasaran dengan jawaban pemuda itu, karena Haru tidak terlihat kesulitan. Apa ia sebenarnya tidak mengerti, namun bersikap tenang agar terlihat bisa?
Saki mendekati sosok itu, dari posisi yang saling berhadapan, kini menjadi bersebelahan. Wajah Saki agak condong ke buku. Matanya melihat soal-soal yang sudah dijawab oleh Haru. Tanpa diduga ternyata benar semua.