"Haru, kita Hanami minggu depan ya." Sosok pria paruh baya berkacamata membuat janji pada seorang anak yang tengah asyik menyantap makan malamnya. Seorang wanita yang duduk di sebelah anak itu hanya tersenyum lembut sambil memperhatikan interaksi mereka.
Mata sang anak berbinar menatap kedua orang tuanya. Senyum tersungging menghiasi pipi kemerahannya. Anak bernama Haru itu mengangguk mantap.
"Tahun ini foto ya di Hanami." Permintaan anaknya membuat sepasang suami istri itu saling bertatapan.
"Haru-chan, ayah alergi bunga. Kalau foto pakai masker akan terlihat jelek." Ibunya membujuk. Putra semata wayangnya tentu tidak bisa menerima alasan itu. Baginya, foto bersama keluarga adalah hal penting, melebihi penyakit alergi ayahnya.
"Foto di studio saja ya." Sang ibu membujuk anaknya yang tengah merajuk. Haru menggeleng cepat dengan pipi digembungkan.
"Haru." Panggilan lembut itu tetap tak digubris. Haru kecil kukuh pada pendiriannya.
"Baiklah, nanti foto." Keputusan sang ayah menimbulkan pro dan kontra. Haru bersorak senang, sementara istrinya menatap cemas.
"Tapi, nanti alerginya?"
"Hanya bersin saja, tak akan parah. Lagipula memang harus ada foto kita saat hanami agar jadi kenangan." Pria paruh baya itu tersenyum lebar.
"Tapi …." Istrinya masih protes, namun ia juga tak bisa membantah keputusan akhir itu. Suaminya memang sangat menyayangi Haru, bahkan cenderung memanjakannya. Mungkin karena ia baru memiliki anak di usia yang sudah hampir empat puluh tahun. Jadi, bagi pria itu, Haru adalah harta yang berharga untuknya.
Haru juga sangat dekat dengan ayahnya. Mereka selalu kompak dan cenderung memiliki kesukaan yang sama. Ayahnya seperti role model bagi Haru. Ia akan menyukai apa yang ayahnya sukai, dan membenci apa yang ayahnya benci.
Ayahnya suka bunga sakura. Haru pun menyukainya, bahkan, sangat menyukainya.
***
Ruang kamar yang remang-remang itu selalu menjadi saksi bisu dari sebuah isakan tangis. Haru menelungkupkan wajahnya pada bantal agar suara sesengukannya bisa teredam. Hampir tiap malam selama tiga tahun ini ia menangis. Sebuah momen tragis yang terjadi saat ia baru masuk kelas 3 SMP selalu terbayang-bayang dalam benaknya dan menjadi sumber kesedihannya.
Ia merenggut sprei. Suara erangannya teredam oleh bantal. Setelah itu tangisannya semakin menjadi. Ia ingin berhenti karena kelelahan, tetapi luka di hatinya memaksa pemuda itu untuk terus mengeluarkan air mata.
"Haru?" Pintu kamarnya diketuk. Di luar, sang ibu memanggil lembut. Mungkin karena erangan tadi, sosok yang tidur di kamar sebelah terbangun. Sang ibu juga sudah tahu kenapa putranya menangis, sehingga berniat menenangkannya.
"Haru?"
"Tidak apa-apa." Haru berusaha menghentikan tangisnya. Ia sudah kelas tiga SMA. Menangis akan membuatnya terlihat seperti bocah lemah.
"Buka pintu ya."