'Besok tidak ada tugas yang dikumpulkan. Tapi kau tetap ke tempatku ya,'
Saki mendesah malas setelah membaca isi pesan dari Haru. Seharusnya, hari ini serta besok ia tak ada jadwal ke sana. Hanya karena permintaan aneh pemuda itu, Saki jadi harus ke sana setiap hari.
Tadi saja ia harus mendapat sial karena menyanggupi permintaan pemuda itu. Waktu sepuluh menitnya terbuang sia-sia hanya untuk menyaksikan tangan Haru yang tersembul di jendela kamar. Sekencang apapun Saki berlari, tetap saja ia tiba di sekolah satu menit setelah bel masuk berbunyi. Alhasil, ketua kelas 3A pun jadi bahan tontonan anak buahnya. Seorang gadis dengan perlengkapan pelindung alergi tengah dimarahi oleh guru kedisiplinan. Saki pun mendapat hukuman mengepel lantai toilet selama satu jam pelajaran.
Lalu, tanpa rasa berdosa, Haru tetap meminta hal yang sama. Saki mengetik balasan dengan sedikit emosi.
'Kalau seperti tadi, aku tidak mau. Tadi aku terlambat, tahu!'
'Kumohon.'
Saki meninggalkan ponselnya di atas meja karena panggilan sang ibu yang memintanya mencuci perabot bekas makan malam. Ibu dan anak itu berdiri berdampingan menghadapi bak cuci piring. Saki mengusap peralatan kotor dengan spons sementara sang ibu membilasnya.
Mereka saling diam, sampai akhirnya Saki pun memberanikan diri bertanya.
"Ibu, menurut ibu kenapa orang bisa ketakutan?"
"Hah?" ibunya heran mendapati anak gadisnya menanyakan hal seperti itu. "Ya karena melihat hal mengerikan," jawabnya enteng.
"Tapi bagaimana kalau objeknya tidak seram sama sekali." Tumben sekali Saki sangat kritis menyikapi jawaban ibunya.
"Tidak seram seperti apa?"
"Ya, seperti...." Saki melirik ke atas "Mungkin boneka, atau....bunga...."
"Bunga?"
"Temanku ada yang takut bunga sakura," Saki akhirnya bercerita. Sang ibu hanya tercenung.
"Apa masuk akal dia takut?"
"Dia yang takut kenapa kau yang bingung sendiri?" Saki tercekat mendengar sindiran itu. Ia mendehem pelan tanpa menjawab. Semoga saja wajahnya tidak berubah merah.
"Laki-laki ya?" Ibunya tersenyum meledek. Saki hampir menjatuhkan piring yang ia bersihkan. Melihat gelagat itu, ibunya semakin yakin dengan tebakannya.
"Dia aneh!" Saki menjawab ketus. "Karena aku ketua kelas, dia menyuruhku macam-macam. Tadi saja aku harus menyapanya agar ia bisa muncul dari jendela."
"Sampai sebegitunya?" sahut ibunya heran dan prihatin. Saki mengangguk cepat.
"Kalau tidak mau, tolak saja. Kenapa masih meladeni?" Mendengar komentar ibunya, Saki langsung tak bereaksi. Keheningan pun menyeruak. Sang ibu berpaling, menatapnya sambil tersenyum.
"Tandanya kau peduli. Untuk menyembuhkan takut itu kau harus sabar," jelasnya. "Terkadang seseorang memiliki pandangan berbeda-beda dalam menilai suatu objek. Mungkin bagimu sakura tidak mengerikan, bagi dia bisa saja sakura menyimpan kenangan buruk."
Saki hanya membisu, namun tetap menyimak perkataan ibunya baik-baik. Ucapan wanita itu bagai sebuah pencerahan.
"Ada hati yang harus disembuhkan," Ibunya menutup perbincangan karena tugas mencuci piring memang sudah selesai. Saki melap tangannya sambil menelaah kalimat terakhir ibunya.
'Hati yang harus disembuhkan?'
***
Esok pagi, Saki kembali mendatangi rumah Haru. Seperti biasa, setelah menghadapi gerbang, ia langsung menghubungi pemuda itu.
"Sudah bangun?" Saki menyapa sambil menatap jendela lantai dua yang masih tertutup tirai.
"Sudah. Kau sudah di depan rumahku ya?"
"Ya." Nada bicara Saki tak sinis seperti kemarin. Ia berharap sambutan ramah itu membuat Haru lebih rileks.