Pada jam istirahat, sensei memanggil Saki untuk menemuinya di ruang guru. Sosok yang tengah menghabiskan makan siangnya mendadak jadi tak berselera. Ia tahu apa alasannya dipanggil. Pasti berhubungan dengan Kiseki Haru. Saki sebenarnya takut dan bingung untuk menjelaskan, namun sebagai ketua kelas ia dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dua hari belakangan, Haru masih menolak dikunjungi. Saki bukannya diam saja. Setiap hari, ia mengirim pesan, menghubunginya, bahkan mengunjungi rumah Kiseki agar pemuda itu luluh, setidaknya untuk memberikan tugas yang sudah diselesaikan. Tapi semua percuma. Saki menyerah dengan tindakannya.
Tetapi, ia malah yang jadi kambing hitam.
Sensei menilik tegas sang ketua kelas yang berdiri canggung. Saki terlihat sangat tegang, sehingga wanita berkacamata itu tersenyum tipis untuk mendinginkan suasana.
"Apa yang terjadi dengan Kiseki?" Sensei bertanya. Saki tercekat. Ia pun tertunduk.
"Ia sulit dihubungi, Sensei."
"Kenapa?" Dahi sensei mengerut.
"Masalah internal. Saya tidak bisa ikut campur." Saki terbata. Hubungan pertemanan termasuk masalah internal, bukan?
Sang sensei hanya manggut-manggut. Ia menghela napas lalu memikirkan sesuatu.
"Mungkin kau bisa memberikannya semangat. Karena, kasihan dia kalau nilainya sampai jatuh,"
Saki merespon enggan permintaan sang sensei. Namun, ia tak berani membantah. Gadis itu mengangguk lalu membungkuk hormat. Sensei itu mengakhiri pembicaraan dan menyuruh Saki untuk kembali ke kelasnya.
"Aku juga akan mencoba untuk menghubungi keluarganya," ucap sang sensei saat Saki hendak beranjak. Gadis itu kembali mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.
Sepanjang koridor menuju ke kelasnya, pikiran Saki dibayangi oleh permintaan senseinya. Bagaimana cara memberi seorang Kiseki Haru semangat? Saki bukan terapis atau pengasuhnya. Hubungan mereka hanya sekedar teman satu kelas. Kenapa ia yang harus menyemangati pemuda letoy itu?
Saki langsung ingat pada Ishida Aoki. Ia-lah yang harus bertanggung jawab. Gadis itu masih menyimpan kesalnya. Kali ini, ia akan memaksa Aoki untuk membujuk mantan temannya itu. Jika menolak, Saki akan memberikan ancaman. Ia bisa terlihat galak dan tegas jika berada dalam tekanan seperti ini.
"Kalau tidak salah, ia kelas 3B…." Saki yang melangkah lunglai langsung bersemangat. Ia menuju ke kelas 3B terlebih dahulu untuk menemui Ishida.
Sampai di sana, ia melihat dari ambang pintu Aoki tengah duduk di atas meja sambil berbincang dengan teman-temannya. Panggilan cukup kencang dari Saki membuat sosok itu berpaling. Ia tak menyangka sang gadis berwajah ketus itu sampai menemuinya ke kelas.
Aoki berpisah dari teman mengobrolnya. Ia berjalan santai ke ambang pintu, di mana Saki berdiri menunggunya dengan memasang wajah galak.
Saki melipat tangan, menatap tajam pemuda yang lebih tinggi darinya. Pemuda itu tetap bisa tenang menghadapi sang gadis.
"Tentang Haru, ya?" tebak Aoki.
"Kau harus membujuknya juga. Tadi sensei memarahiku!" Saki mendramatisir cerita. Sosok di hadapannya hanya mengusap tengkuknya sambil tertawa pelan.
"Siapa peduli? Biarkan saja dia…."
Si biang masalah hendak beranjak kembali ke dalam kelas, namun lengan Saki menahan pergerakannya seketika. Ia menjewer telinga Aoki lalu menariknya, tak peduli dengan sosok yang terus menerus mengaduh karena kesakitan.
Saki mendekati telinga pemuda itu lalu berteriak kencang.
"Kau harus bertanggung jawab, sialan! Kalau tidak, kubunuh kau!"