Lima belas menit berlalu setelah bel pulang berbunyi. Saki yang terburu-buru menuruni tangga kelas dicegat oleh lima orang siswi. Mereka ingin bicara dengan Saki di halaman belakang sekolah.
Ia mendapat masalah setelah berhasil menarik perhatian si pangeran lapangan, Ishida Aoki. Gadis-gadis yang tak terima langsung menanyai Saki dengan membawanya ke tempat yang sepi. Saki sudah kelas tiga, namun ia ciut juga menghadapi lima orang adik kelas yang memasang wajah sangar padanya.
"Tidak, aku tidak ada hubungan apapun!" Gadis bermasker itu menegaskan. Salah satu dari mereka merenggut masker dari wajahnya.
"Tunggu! Kalian!" Saki melawan karena salah satu outfit anti alerginya direbut paksa. Ia menatap kesal. Tak lama, gadis itu bersin-bersin.
"Wah, alergi serbuk sari ya." Derai tawa ejekan terdengar. Saki meraih maskernya. Namun ia kurang gesit daripada si perebut.
"Senpai, katakan yang jujur, atau tidak kukembalikan." Ia melambaikan masker Saki. Gadis itu kesal. Kenapa di saat seperti ini ia tak membawa masker cadangan?
"Kalau kubilang tidak, ya tidak!" erangnya. "Kembalikan! Kalian membuat masalah!"
Maskernya dioper dari satu gadis ke gadis lain. Saki mulai tidak tahan dengan serbuk sari yang tercium oleh hidungnya. Ia semakin kesulitan merebutnya karena sibuk bersin-bersin. Lelehan ingusnya sudah membasahi hidung.
"Kembalikan!" Saki bersin-bersin. Ia mulai sesak nafas.
Salah seorang yang memegang masker itu mengangkatnya tinggi-tinggi. Saki hanya berlutut sambil terus bersin. Ia bisa pingsan kalau mereka tak mau mengembalikan maskernya.
"Kumohon kembalikan..."
Saki tak bisa menatap mereka. Ia memutup wajahnya untuk menahan bersin. Kalau begini, ia hanya bisa berharap pada keajaiban.
"Macam-macam lagi ya." Suara asing menelisik di antara derai tawa. Kelima siswi itu berpaling dan menemukan Aoki menghampiri mereka. Ia menyampirkan tasnya, melangkah bak pahlawan. Namun, Saki tetap menatapnya kesal. Kejadian ini semua karena dia terlalu populer, bukan?
"Kembalikan." Aoki berkata tegas pada siswi yang masih memegang masker milik Saki. Tanpa diminta dua kali, yang bersangkutan keburu memberikannya dengan wajah takut.
"Ma-maaf." Suara memelas dari mereka terdengar. Tak memedulikan permohonan itu, Aoki menghampiri Saki untuk mengembalikan masker miliknya. Yang bersangkutan merebut lalu langsung memakainya.
"Minta maaf padanya, bukan padaku!" Tatapan mata Aoki sinis. "Jangan ganggu dia lagi! Ia sepupuku."
Saki melotot. Namun di saat seperti ini ia tak bisa membantah. Kerumunan kouhai menyebalkan itu pun beralih memelas pada Saki. Raut wajah mereka lebih terlihat takut daripada menyesal. Saki hanya mengangguk pelan. Ia tak mau ambil pusing, karena ia sendiri juga masih mengatur napasnya yang sesak.
Akhirnya lima pembuat masalah itu meninggalkan mereka. Saki mengambil inhaler lalu menghirupnya. Nafasnya terasa lebih plong.
"Sebaiknya kau ajarkan pada mereka untuk menjadi fans yang baik." Saki menyindir sambil menyimpan inhalernya. Ia kini bisa leluasa bernafas.
"Sayang sekali, aku tak pernah berniat memiliki fans," balasnya pongah. Saki memicing sesaat lalu berpaling.
"Mau kuantar pulang?" tawar Aoki saat Saki hendak meninggalkannya.
"Aku ingin ke tempat Kiseki," jawab Saki. Sosok yang enggan bertemu dengannya pun mengurungkan niat itu. Ia menenteng tasnya lalu melangkah untuk meninggalkan Saki.
"Antar ya." Sang gadis memanfaatkan situasi. Ia berlari pelan mengejar sosok tinggi yang walau berjalan santai, langkahnya cukup cepat. Aoki mengabaikannya.
"Rumahmu dekat dengannya, dibanding rumahku."
"Tidak jadi."
"Ayolah." Saki mendesak. Aoki berhenti sejenak, mengatur nafas. Tampaknya, pemuda itu sedikit luluh dengan permintaan memelas sang gadis.
"Hanya mengantarmu saja. Aku tak mau bertemu dengannya."
Saki tidak mengiyakan. Ia hanya diam sambil mengikuti pemuda itu. Bunga sakura bertaburan di antara mereka. Saki memandangi punggung yang tengah menyampirkan tas itu.
Sampai di parkiran, Aoki mengeluarkan sepedanya. Tatapan Saki terus mengarah padanya, sampai pemuda itu salah tingkah sendiri.
"Apa?"
"Boleh aku bertanya?" pinta gadis bermasker itu. Aoki hanya diam sebagai respon setuju.
"Kalian punya teman lagi ya? Akari...." selidik Saki. Air muka Aoki tampak kaget mendengar nama itu disebut.
Ia menghindari tatapan Saki. "Akari teman kami juga. Kami bertiga dulu teman masa kecil."
Saki hanya manggut-manggut. Aoki menaiki sepedanya. Saki duduk menyamping di kursi belakang. Ia tak lagi membujuk Aoki untuk menemui Haru, berharap pemuda itu berubah pikiran di tengah perjalanan.
Guguran sakura menghiasi jalanan setapak. Sepedanya melaju mulus melewati siswa lain yang tengah melangkah di jalanan itu. Saki berpegangan pada ujung blazer Aoki saat sepedanya melewati permukaan jalanan yang tidak rata.
"Kalau Akari sekarang di mana?" Saki mengajak ngobrol di tengah perjalanan. Ishida mengayuh sepedanya santai.