Suara panggilan dari luar rumah menganggu aktivitas makan malamnya. Haru beranjak menuju ke jendela untuk mengintip siapa yang malam-malam begini menyambangi rumahnya. Ia memang tak berniat membukakan pintu, namun ternyata tamu itu adalah sosok yang ia kenal, sehingga tanpa pikir panjang, ia langsung membuka pintu rumah.
Ishida Aoki melambaikan tangan pada pemuda yang sebagian wajahnya tertutup hoodie. Di tengah cahaya lampu teras yang redup, sosok Haru yang muncul dari dalam rumah membuat Aoki bergidik. Sambil terus menunduk, pemuda itu melangkah mendekatinya.
"Tidak ada bel di sini, jadi aku bingung bagaimana memanggil pemilik rumah." Aoki menjelaskan. Seperti biasa, pembawaannya selalu santai.
"Masuk?" Haru menawarkan. Raut wajahnya tetap datar bahkan saat temannya itu akhirnya mau berkunjung lagi ke rumahnya.
"Justru aku ingin mengajakmu keluar." Aoki menunjuk sepedanya yang terparkir dekat pintu gerbang. Haru sedikit mengangkat mukanya. Raut wajahnya berubah tegang mendengar ajakan itu.
"Takut?" Aoki tertawa mengejek.
"Kau tahu 'kan di musim ini aku tak bisa keluar."
"Mungkin bisa, tapi kau tak mau,” sanggah sosok yang berhadapan dengannya. Sejenak, ia menghela nafas "Tempatnya di puncak bukit, jauh dari taman bunga sakura."
Haru berpikir sebentar. Ia tahu tempat yang dimaksud. Sambil mempertimbangkan, ia menatap teman masa kecilnya itu sejurus. Aoki menunggu dengan santai sambil melipat tangannya.
"Tunggu sebentar." Haru langsung berbalik masuk ke rumahnya. Ia mengganti celana pendeknya dengan celana training. Setelah itu, ia menulis memo untuk sang ibu yang pulang larut malam karena lembur. Diletakkannya kertas itu di atas meja makan. Kemungkinan besar, saat membaca pesan ini, sang ibu akan kaget karena selama tiga tahun belakangan anaknya belum pernah berani keluar pada musim semi.
Haru menghampiri Aoki. Ia keluar dari pagar rumahnya. Tubuhnya agak gemetar karena dibayangi oleh rasa takut. Di tengah jalan, ia pasti akan melewati setidaknya satu atau dua batang pohon sakura. Namun, Haru percaya kalau Aoki tak berniat mencelakainya. Ia pasti mengerti fobia yang dialami sahabatnya itu.
"Ayo." Aoki sudah menduduki kursi kemudi. Haru terpaku sebentar lalu duduk di belakangnya. Ia menunduk untuk menghindari pemandangan malam yang akan mereka lewati saat berkendara dengan sepeda.
"Percaya padaku, 'kan?" Sosok yang memunggunginya bertanya sebelum melajukan sepeda. Aoki berpaling sedikit ke arah Haru, mendapati jawaban berupa anggukan pelan.
"Pelan-pelan saja. Kau selalu ngebut kalau naik sepeda." Haru memperingatkan, walau bicaranya masih terdengar canggung. Aoki tertawa pelan oleh fakta kalau sosok yang sudah lama tak bertegur sapa itu ternyata masih ingat kebiasaannya.
"Anggap saja sebagai bentuk pembalasanku!" Tanpa menunggu reaksi Haru, ia melajukan kencang sepedanya. Seketika, mengundang teriakan tertahan dari sosok yang berboncengan dengannya. Haru menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya di dalam hoodie.
Saat di turunan, Haru tak bisa menahan takutnya. Ia berteriak sambil memejamkan matanya. Kedua tangannya memegang erat jaket Ishida.
"Jangan dikayuh! Semakin cepat! Tekan rem-nya!" Melihat Haru yang panik, Aoki malah tertawa puas. Setelah melewati jalan menurun, si pengendara sepeda membanting stang ke kanan. Ia mengambil jalan lain, karena beberapa meter di depan mereka ada taman berisi banyak pohon sakura. Haru menahan napas saat sepeda mereka hampir oleng. Untung saja, kaki Aoki yang jenjang berhasil menahan keseimbangan.
Mereka pun melaju di jalanan yang mulus. Haru mengatur napas setelah tadi berpacu dengan rasa takut karena Aoki yang menyetir seperti orang kesetanan. Ia masih menunduk dalam, bersembunyi dari pemandangan malam yang sebenarnya sangat indah untuk dilihat.
Aoki melirik ke belakang. Sahabatnya saat ini hanya pemuda yang selalu ketakutan. Bahkan untuk melihat sekitarnya pun ia menolak. Padahal, dulu saat berboncengan, Haru sering berdiri di belakang, memegangi pundak Aoki sambil melihat sekelilingnya. Keduanya tampak sangat akrab, bercanda dan tertawa bersama.
"Kau menikmatinya?" tukas Aoki. Pandangannya lurus pada jalan raya. Sekitarnya masih berupa perumahan yang sepi.
"Sudah lama, ya?"
"Ya." Haru menjawab sambil menunduk.
"Tidak ada pohon sakura, hanya pemandangan jalanan di malam hari," ujar Aoki. "Lawan rasa takutmu, dan lihatlah sendiri."
Haru menengadah perlahan. Hoodie-nya tersingkap diterpa angin. Ia kini bisa melihat dengan jelas daerah sekitarnya, seperti sosok yang baru melihat dunia luar. Haru membiarkan rambutnya tergerai dimainkan angin malam. Aoki meliriknya lagi lalu tersenyum singkat.
Mata Haru tak henti mengedar, sampai akhirnya terpaku pada bentangan langit malam.
Bola matanya merefleksikan langit yang dihiasi oleh ribuan bintang. Pemuda itu pun menarik nafas dalam-dalam lalu memejamkan matanya.
Mereka tiba di perkotaan. Dari suasana sepi, kini berganti menjadi keramaian. Haru masih tercenung melihat sekitarnya. Sepeda itu melaju di trotoar, melewati deretan pertokoan. Jalanan ini amat familiar baginya, namun Haru seperti baru melihatnya pertama kali.
Perkotaan yang ramai itu kini berganti menjadi pemandangan kebun. Mereka sudah hampir tiba di tujuan. Suasana di sini bahkan lebih sepi dan gelap daripada di perumahan penduduk. Hanya ada lampu jalanan yang menyala redup lalu suara jangkrik yang mengisi keheningan.
Mereka masuk ke sebuah jalan setapak di dalam perkebunan itu. Sampai di sini, Haru turun lalu berjalan kaki. Ia membiarkan Ishida melajukan sepeda di sampingnya. Keduanya saling diam. Tatapan Haru mengarah ke jalan bebatuan, sementara Aoki fokus pada pemandangan di depannya.
"Aku belajar sepeda di sini." Aoki menyeletuk. Haru tertawa singkat.
"Tentu, aku yang mengajarimu."
"Oh." Aoki membulatkan bibirnya. Ia pun tersenyum.
"Akari menyusul kita ke sini. Lalu kita makan siang bersama," kenang Aoki. Haru hanya mengangguk pelan.
"Kau masih berhubungan dengannya?" Haru menanyakan. Raut wajah Aoki berubah sedih. Ia menggeleng.
"Mungkin ia sudah memiliki kehidupannya sendiri di sana."
Haru meliriknya. Raut wajah sosok yang berdampingan dengannya itu masih terlihat muram. Kehilangan Akari bagi seorang Aoki memang membuatnya sedih. Haru tahu kalau Akari adalah sosok yang amat penting bagi Aoki, karena ia menyimpan perasaan pada gadis itu.
"Jagalah Haru.... Itu pesan terakhirnya. Menyebalkan sekali!" gerutu Aoki sambil membuang muka.