Miracle Spring

Pamella Paramitha
Chapter #15

Chapter 15

Karena kondisi Haru masih belum membaik, Saki memutuskan untuk membawanya ke ruang kesehatan pada jam kedua. Seorang petugas medis menyuruh Haru untuk duduk di atas ranjang. Ia juga memberikan teh hangat untuk merelaksasi tubuh pemuda itu.

"Punya obat atau sejenisnya?" Petugas itu bertanya. Haru mengangguk lalu mengeluarkan sebotol kecil pil dari dalam saku bajunya. Saki memperhatikan pemuda itu meminum obatnya.

Petugas itu menyuruh Haru beristirahat. Sampai di sini, tugas Saki pun selesai. Setelah membungkuk hormat pada sensei yang menjaga ruang kesehatan, gadis itu kembali ke kelasnya.

Pada jam istirahat, Saki mengajak Aoki untuk menjenguk Haru di ruang kesehatan. Pemuda itu tentu sangat kaget dan marah mendengar cerita sang gadis. Ia berdumel sepanjang koridor menuju ke ruang kesehatan.

"Kau harus mencarinya Matsumoto! Kalau ketemu biar kuhajar juga!"

"Tapi, tak ada yang mengaku juga," sahut Saki pesimis. Perasaannya lebih condong ke sedih ketimbang marah, mengingat tak satu pun dari murid satu kelas yang peduli pada pemuda itu.

"Aku hanya sedih tak ada yang mendukungnya, atau setidaknya peduli padanya. Ia ... sendirian." Saki menunduk. Mendengar ucapannya, Aoki menghela nafas lalu menepuk bahu Saki. Berbeda dengan Saki, sorot mata pemuda itu memancar tegas.

"Kita yang mendukungnya."

Saki mengangguk sambil tersenyum lirih. Akhirnya, mereka tiba di ruang kesehatan. Aoki mempercepat langkah, menghambur masuk ruangan, sementara Saki berjalan lebih santai. Ia mendengar seruan Aoki memanggil nama Haru. Ketika Saki masuk ruangan, pemuda itu sudah duduk di ranjang, berdampingan dengan sang pasien.

Kondisi Haru terlihat membaik. Raut wajahnya lebih tenang dan segar. Ia berbincang dengan Aoki sambil menunjukkan seguret senyum. Perasaan Saki pun sedikit lebih lega.

"Kau tidak apa-apa?" Gadis itu menghampiri Haru, memotong percakapannya dengan Aoki. Haru berpaling, tersenyum lembut lalu mengangguk pelan.

"Sensei tidak di sini?" Mata Saki mengedari ruangan. Ternyata hanya mereka bertiga di ruangan ini.

"Ia sedang makan siang." Haru menjawab.

"Kau mau makan siang? Biar kubelikan makanan." Aoki menawarkan.

"Tidak. Aku jalan sendiri saja," sahut Haru. "Aku sudah baik-baik saja."

"Mau makan siang bersama? Kita ke kafetaria?" tawar Saki. "Kau benar sudah baikan?" Ia menilik Haru lagi. Yang bersangkutan tertawa pelan sambil mengangguk lagi.

Ketiganya pun memutuskan untuk makan siang bersama. Saki kembali ke kelas untuk mengambil bento-nya. Ia mendapatu teman-temannya sudah makan bersama lebih dulu. Kali ini Saki tak bisa bergabung dengan mereka.

Saki membawa bekalnya, melangkah bersama Haru dan Aoki. Dua sosok itu berjalan di depannya sambil mengobrol. Saki memperhatikan gerak-gerik Haru. Pemuda itu sudah bisa tertawa lagi. Melihatnya, Saki kembali tersenyum lembut.

Mereka berada di kafetaria. Haru dan Aoki memesan makanan. Saki menunggu mereka sambil memandangi bento-nya. Sebenarnya, ia sudah kelaparan, namun dua pemuda itu belum datang juga.

Sepuluh menit kemudian, keduanya mengambil tempat di depan Saki. Mereka meletakkan nampan. Saki menilik makanan yang mereka pesan, setelah itu ia pun membuka bekalnya.

"Wah sepertinya enak, Saki-chan." Aoki meledeknya dengan menirukan suara perempuan. Mata si pemilik bekal langsung memicing tajam.

"Tapi, anak perempuan selalu bawa bekal ya," komentar sosok yang sama. Haru hanya tersenyum kalem sambil melahap makan siangnya.

"Aoki dulu juga sering membawa bento. Kalau tak salah tempat bekalnya berwarna serba merah." Saki hampir tersedak mendengar kisah yang terlontar dari Haru. Ia membekap mulut untuk menahan tawa. Aoki langsung menatap Haru tajam sambil bertolak pinggang.

"Itu karena dulu ibunya ingin anak perempuan." Haru belum kapok bercerita. Aoki kini memelototinya.

"Hentikan, Haru!"

Saki hanya cekikikan. Cerita Haru mengenai Aoki serta pertengkaran mereka terlihat sangat lucu.

"Tapi, Haru juga dulu sering membawa bento." Aoki bercerita di sela-sela makan. Haru hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Ya, ibuku membuatnya," ungkap Haru. Mendengar itu, timbul sebuah pertanyaan dalam benak Saki. Spontan ia pun mengungkapkannya.

Lihat selengkapnya