Miracle When Sunset

Dyah Ayu Lestari Ginting
Chapter #3

Book Store

Hari ini Putri, mama Sania memutuskan pulang cepat agar bisa menghabiskan waktu dengan putrinya. Kata-kata yang diucapkan putrinya tadi pagi bagai menusuk hati. Putrinya benar, sebagai seorang orang tua ia harus bisa meluangkan sedikit waktu untuk anaknya.

Ia melajukan sepeda motornya dengan kecepatan rata-rata. Mengoyak lintasan jalan raya yang tidak terlalu padat.Saat telah sampai, ia memakirkan sepeda motornya dan mulai memasuki rumah.Tangannya terjulur menekan bel pintu yang telah disediakan di depan rumah.Tiga kali menekan barulah ada sahutan dari dalam. Siapa lagi kalau bukan bi Neneng.

"Eh, nyonya udah pulang. Tumben cepet." ungkap bi Neneng.

"Ia, mau ngabisin waktu sama Sania berdua."

"Oohh... Silakan masuk mau minum apa?" tanya bi Neneng dengan cengiran manis di bibirnya.

"Lah, bi inikan rumah saya kok malah bibi yang nanya."

"Aduuh.. Lupa nyonya. Hehehe..." bi Neneng tertawa melihat tingkahnya barusan.

Yah, begitulah sifat Bi Neneng yang terkadang lupa alias pikun, perhatian, dan terkadang romantis juga ngikutin zaman kayak ABG diluaran sana. Putri melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Matanya mulai mencari keberadaan Sania. Kakinya bergerak cepat menelusuri segala penjuru ruangan yang ada. Bola matanya ia gerakkan ke sana ke mari. Sampai ia melihat sosok wanita remaja duduk di atas kursi yang benar benar membantu keberadaannya.

"Sania, sweetheart. Oh, dari tadi mama cariin kamu ternyata di sini." tangannya terjulur ke depan memeluk putrinya.

Namun, sosok yang ia peluk tadi tetap diam, tak bergeming dan tak melakukan apapun.Ia hanya melihat mata putrinya yang menatap kosong ke depan. Terukir tanda tanya di dalam pikirannya.Ia membiarkan putrinya itu untuk angkat bicara sendiri. Namun, cukup lama ia menunggu dan tak ada perubahan.

"Sania, whats wrong?" ia pun mulai bertanya.

"Mom, do you look this flower?" jari telunjuknya terjulur ke depan menuju bunga yang ia tunjuk tadi.

Bola mata Putri pun bergerak lihai dan melihat apa yang telah ditunjuk putrinya.

"Yes, so?"

"Its a rose right? Mama ingat gak waktu aku kecil, mama pernah bilang apa tentang bunga ini?" ia menghela nafasnya sebelum melanjutkan pembicaraan.

"Mama pernah bilang ternyata bunga itu gak akan pernah lengkap tanpa penghiasnya dan peramainya. Warna yang elok akan membuatnya tampil percaya diri dengan keindahannya. Daunnya melengkapi ragam warna yang ada. Batangnya, menahan ia agar bisa terjulur ke dunia dan makhluk hidup bisa menikmati paras eloknya. Hewan yang hinggap di atasnya menambah penghias dan harum nya bunga.But, look this rose. Ia bahkan menjadi bunga favorit hampir seluruh wanita di bumi ini. Namun, sekarang ia mulai kehilangan paras indahnya. Warnanya telah pudar, tangkainya bahkan tak kuat untuk menahannya. Para lebah dan kupu-kupu pun tak ada yang mau melirik bunga ini. Mereka tak pernah ingat betapa pentingnya bunga ini. Ia hanya akan menunggu kapan seseorang akan mengakhiri penderitaannya atau angin yang akan menerbangkannya jauh ke tempat yang mungkin orang akan menganggapnya sampah. Ia sudah tak berdaya di atas tangkai yang menahannya. Ia ingin secepatnya pergi dan meninggalkan semuanya walaupun keluarganya tak mengizinkan." Sania memetik bunga mawar yang ia bicarakan tadi yang sudah layu.

'Ada apa dengan Sania?' Benar-benar aneh. Kalimat yang dituturkan putrinya tadi mengukir tanda tanya yang indah di pikirannya.

Lihat selengkapnya