"Dita ... bangun, sayang," ucap seorang wanita separuh baya, mencoba untuk membangunkan Dita yang masih tertidur. Tangannya bergerak untuk menepuk-nepuk pelan pipi sang anak, namun ia tidak juga kunjung bangun.
Tak kehabisan ide, wanita itu beralih mendekat ke arah gorden kamar. Dengan sekali tarikan, gorden kamar itupun langsung terbuka dengan sangat lebar. Sinar matahari pagi mulai menyelinap masuk begitu saja, membuat kamar yang tadinya masih terlihat gelap perlahan-lahan menjadi lebih terang.
Sinar matahari itu ternyata juga membuat seseorang yang masih tertidur dengan sangat pulasnya merasa terusik. "Ma, kordennya tutup dong," keluh Dita dengan suara seraknya, kemudian menarik selimut yang ada di dekatnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.
"Ini itu udah pagi, kamu gak mau sekolah emangnya?" tanya Rika— Mama Dita. Ia kembali melangkahkan kakinya mendekat, kemudian duduk di sisi ranjang.
"Dita?" panggil Rika lagi. Namun kali ini ia memanggil nama sang anak dengan sedikit penekanan di dalamnya.
Mendengar panggilan dari sang Mama membuat Dita akhirnya membangunkan dirinya dengan malas. Saat ini posisinya telah berubah menjadi duduk.
"Iya-iya, Dita udah bangun nih," jawab Dita dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya. Melihat hal itu membuat Rika pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sekarang kamu mandi sana. Hati-hati jalannya, entar nabrak."
Dita hanya menjawab ucapan sang Mama dengan anggukan kepala. Kemudian ia segera menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang, menyusul dengan tubuhnya yang terangkat naik. Namun ketika hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja ia merasakan pusing hingga membuatnya kembali terduduk.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Rika dengan nada cemas.
"Dita gak apa-apa kok, Ma. Cuma pusing aja."
Jawaban dari Dita tidak sepenuhnya membuat Rika merasa puas. "Atau suruh Papa periksa aja, takutnya kamu kenapa-napa?" sarannya yang masih terasa cemas. Melihat sang anaqak yang kembali terduduk dengan memegang kepalanya tentu saja membuat Rika berfikir yang aneh-aneh. Ia sangat menyayangi putri bungsunya ini dan tidak ingin terjadi apa-apa terhadapnya.
"Gak usah, Ma. Udah mendingan kok, gak pusing kayak tadi lagi," tolak Dita sambil memberikan senyumannya kepada Rika. Ia ingin membuktikan bahwa saat ini kondisinya benar-benar baik-baik saja.
"Kalau gitu Mama bantu kamu ke kamar mandi." Dita hanya bisa menyetujui apa yang diucapkan oleh sang Mama. Jika ia menolaknya, mungkin saja Mamanya akan berubah menjadi over protective kepadanya.
"Udah, Ma. Sampai di sini aja. Gak usah ikutan masuk," ucap Dita berusaha mencegah sang Mama yang hendak masuk ke dalam kamar mandi.
"Entar kamu kenapa-napa di dalam gimana?"
"Ma, Dita udah besar. Bukan anak kecil lagi," keluh Dita. Bibir mungilnya sengaja ia majukan ke depan sebagai pertanda bahwa saat ini ia tengah kesal kepada Mamanya.
Bukannya marah, Rika justru tersenyum melihat anaknya. "Mau sebesar apapun kamu, Mama akan tetap anggap kamu sebagai putri kecil Mama," jelas Rika sambil mengelus bahu sang anak dengan sayang.
"Iya, Mamaku sayang. Tapi kali ini putri kecil kesayangan Mama ini mau mandiri, mandi sendiri. Boleh ya, Ma?" tanya Dita dengan nada memohon. Ia yakin Mamanya pasti tidak akan menolak keinginannya jika ia sudah memohon seperti ini.
"Yaudah, kamu mandi dulu sana. Mama tunggu di ruang makan," ujar Rika akhirnya.
"Siap, Ma!" seru Dita dengan semangat.
Sesuai dengan perkataan sang Mama. Setelah menyelesaikan aktivitas mandinya Dita segera bersiap-siap, lalu menuju ke ruang makan. Di sana telah berkumpul seluruh anggota keluarganya untuk melaksanakan sarapan pagi.