Jakarta Selatan, 2003.
“Kita dipehaka?”
“Iya.”
“Kenapa sih? Bukannya penjualan rumah lancar?”
Suara-suara tidak puas itu mendengung bagaikan tawon di ruangan kami, karyawan PT. Rumah Indah. Sudah tiga tahun aku bekerja di sini, di perusahaan developer kecil. Walaupun masih sesuai dengan background pendidikanku yang sarjana teknik, aku sesungguhnya menginginkan lebih dari sekadar bekerja di sini.
Highrise building, bandara, jembatan, atau pelabuhan. Atau sesuatu yang menjadi ikon. Setidaknya itulah yang seharusnya kukerjakan sebagai seseorang yang pernah punya peringkat di sekolah. Walaupun kuakui saat kuliah termasuk mahasiswa berotak biasa-biasa saja, boleh dong aku menginginkan pekerjaan yang lebih prestige. Semata-mata agar sebanding dengan perjuanganku mendapatkan selembar ijazah. Juga malam-malam begadangku, jauh dari rumah.
Namun, apa mau dikata. Setelah berbagai drama dalam mencari pekerjaan, nasib membawaku ke perusahaan ini. Perusahaan yang membangun rumah sederhana. Sayangnya, gajiku pun sederhana pula.
Suara-suara di belakang mendengung lagi membuat kepala semakin berdenyut-denyut.
“Ra, tanyain dong ke bos. Kenapa kita semua dipehaka. Kalau pun iya, kenapa pesangonnya segini?”
Seorang teman perempuan menatapku dengan pandangan tidak puas. Di tangannya ada selembar cek.
“Kenapa harus gue sih?”