Miris

Asmawati
Chapter #2

🕊 Campaign

Sahabat itu seperti mata dan tangan. Saat mata menangis tangan mengusap, saat tangan terluka mata menangis.

Semi dan Mei mei, sahabat sedari orok. Mereka tinggal di lingkungan yang sama. Sebetulnya persahabatan mereka beranggotakan tiga. Anggota ketiganya adalah Rako. Mereka bertiga mendapatkan warisan persahabatan ini dari orang tua masing-masing. Ayah Semi, Papa Mei mei dan Mak Rako bersahabat kental dari Sekolah Dasar.

***

Terlihat Mak Rako tengah menyiapkan makanan di meja makan, sambil sesekali menonton ke arah televisi. Wanita berbadan gempal, berpotongan rambut demi moore, dan berciri khas suara lantang ini tengah menonton berita, tentang akan diadakannya Kampanye Presiden dan Wakil Presiden.

"Kampanye lagi? ntar harus sesuai tuhh apa yang di ucap sama kenyataannya yee. Seringnya mahh gak sesuai dengan kenyataan. Masih juga cabai mahal di warung Aliong." Gerutu Mak Rako, yang kemudian terdiam sebentar sambil berpikir.

"Atau si pelit itu yang mau mengambil untung besar? apa mungkin harga cabai, minyak goreng, dan beras gak ada turun-turunnya dalam sebulan ini? apa yang akan kami masak besok kalau semuanya mahal?" Mak Rako berceloteh lagi.

Sementara itu motor Rako sudah terparkir di depan pintu rumahnya. Dengan baju berbasah keringat, nampaknya tidak kering oleh angin malam. Pakaiannya yang basah sepulang kerja, mengisyaratkan pekerjaan yang ia geluti begitu menguras tenaga.

"Assalamualaikum." Ujar Rako sambil melangkahkan kakinya ke dalam rumah.

"Waalaikum salam. Uuuuii anak bujang Amak udah pulang. Amak sudah siapin air panas untuk mandi. Habis mandi langsung makan sup ayam buatan Amak, selagi masih panas. Amak mau ke warung Aliong dulu, nanti kemalaman takut warung Aliong tutup." Telapak tangan bantet Mak Rako menepuk-nepuk bahu Rako. Kepulangan Rako mengingatkannya akan kebutuhan memasak untuk putra kesayangannya itu, esok.

***

Ko Aliong, seorang pria paruh baya. Ia Papa Mei mei. Warung sekaligus rumahnya berdekatan dengan rumah Semi dan Rako.

"Aliong..., Aliong..., berapa harga cabai?" tanya Mak Rako setengah menjerit sambil tergopoh-gopoh.

Papa Mei mei tengah menonton televisi, berita tentang kampanye.

"Aaaiiiisssttt, selalu belanja malam. Nanti bagaimana tanggapan tetangga, dia setiap malam ke warung terus." Ujar Papa Mei mei kepada dirinya sendiri.

"Kenapa ke warung malam-malam lagi?" Papa Mei mei menanyakan pertanyaan yang barusan di pertanyakan dalam hatinya kepada Mak Rako.

"Warungmu kan belum tutup, kenapa bertanya?" balas Mak Rako.

"Sekalian mau beli rokok dua batang." Tambah Mak Rako.

"Iiiisssttt, Mak satu ini, tidak takut ketahuan dengan Rako?" Papa Mei mei menujukkan sedikit kesalnya kepada Mak Rako, yang masih juga belum mau berhenti merokok.

"Aaaiiisstttt..., ayolahh. Rako baru pulang kerja." Bujuk Mak Rako kepada Papa Mei mei.

"Okelahh okelahh..., jangan di sini. Kita ke Taman saja." Ajak Papa Mei mei dengan terpaksa. Ia berpikir, setidaknya di jam seperti ini, di Taman biasanya masih ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk.

Papa Mei mei mengambil dua batang rokok, kemudian menurunkan rolling door warungnya. Mereka berdua pun berjalan menuju Taman yang ada di sekitaran rumah mereka. Berjarak sekitar 20 meter dari warung Papa Mei mei. Di setengah perjalanan, mereka bertemu dengan Papa Padli, yang baru pulang tugas dan masih mengenakan seragam polisinya. Papa Padli pun mengklakson mereka dari dalam mobil. Rumah Padli berada di lingkungan yang sama, namun lebih dekat ke jalan raya. Dari luarnya saja sudah terlihat kalau rumah itu pemiliknya berduit. Jauh lebih besar dari rumah tetangga-tetangganya. Apalagi jika mengintip ke dalam rumah, mebel-mebel berkualitas bertangkringan. Hal ini maklum saja, karena Mama Padli pengusaha mebel.

Lihat selengkapnya