Mirror

Lolita Alvianti susintaningrum
Chapter #2

SATU

Pengkhianatan yang dilakukan Ayah Citra tak hanya meninggalkan luka hati dan trauma mendalam, tetapi juga meninggalkan rentetan akibat yang akan terjadi seumur hidup. Kini, hidup keluarga Citra semakin sulit. Ayah Citra pergi tanpa memberi mereka harta apapun selain rumah kecil yang temboknya sudah retak di mana-mana sehingga Ibu Citra yang hanya seorang ibu rumah tangga kesulitan untuk menyambung hidup. Apalagi beliau harus membiayai dua orang anaknya yang masih sekolah.

Untuk tetap hidup, Ibu Citra terpaksa menjalani pekerjaan sebagai tukang cuci. Namun uang yang didapatkan tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Sedangkan untuk biaya sekolah, Ibu Citra menjual beberapa perhiasan yang dimilikinya. Melihat betapa sulitnya sang Ibu memutar uang untuk kelanjutan hidup mereka, membuat Citra sedih dan tertekan. Ia tak berani meminta uang sekalipun untuk keperluan sekolah.

Sebenarnya, sekolah Citra tidaklah membutuhkan terlalu banyak biaya. Citra termasuk salah satu murid cerdas di sekolahnya yang sudah beberapa kali memenangkan olimpiade Matematika dan Sains. Berkat kecerdasannya, ia pun mendapat beasiswa. Sebuah prestasi gemilang yang pernah membuat orang tuanya begitu bangga. Bahkan dengan senyum lebar dan raut bahagia, Ayah langsung mengajaknya ke pusat perbelanjaan terbesar yang terdiri dari dua lantai di kota dan membelikan apapun yang Citra mau sebagai hadiah. Salah satu hari bahagia yang dialami Citra sebagai anak.

Namun keringanan itu tidaklah cukup untuk sekarang. Citra dibebaskan dari membayar SPP, namun ia tetap harus membeli buku, membayar biaya ujian, dan uang praktek yang jumlahnya cukup banyak. Belum lagi biaya sekolah dan tetek bengek Amel. Citra tahu ibunya tak mungkin bisa menanggung biaya sekolahnya sampai lulus. Akhirnya, timbullah sebuah ide. Sesungguhnya ini tidaklah mudah dan Citra tidak akan melakukannya bilamana keadaannya berbeda.

"Ibu, Citra mau berhenti sekolah aja ya. Citra mau cari kerja buat bantu Ibu," kata Citra hati-hati saat sedang membantu ibunya mencuci pakaian langganannya. "Kita nggak akan cukup kalau cuma ngandelin penghasilan dari hasil nyuci."

Gerakan sang Ibu terhenti dan ia menoleh menatap anak sulungnya. "Nggak usah begitu!" ujarnya tegas. "Lagian setiap hari kamu udah kerja bantu Ibu. Itu udah cukup," tambahnya.

Ada rasa nelangsa dalam hati Kasih saat mendengar usul Citra. Ya, Citra benar, penghasilan dari mencuci pakaian tidaklah cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Namun Kasih tidak mau putrinya sampai putus sekolah. Ia bercita-cita punya anak berpendidikan tinggi, dan akan melakukan apapun demi menuntaskan pendidikan anak-anaknya hingga jadi sarjana.

"Tapi Bu, kalau Citra sekolah sampai lulus, barang di rumah kita akan habis dijual."

"Nggak usah khawatir soal itu, Ibu masih bisa nyekolahin kamu sama Amel," sahut Kasih seraya kembali mengucek pakaian, memalingkan wajah dari Citra. Matanya sudah panas oleh desakan air mata. Namun ditahannya air mata itu supaya tidak tumpah di depan anaknya. "Ibu cuma butuh kamu belajar yang rajin. Kamu baru boleh berhenti sekolah kalau udah jadi sarjana, ngerti?"

Citra menyerah dan mengiyakan saja. Titah ibunya sudah tak terbantahkan. Dengan langkah berat, Citra menyeret keluar ember yang berisi pakaian bersih untuk dijemur.

Setetes air mata meluncur turun saat Kasih mendengar langkah putrinya menyeret ember menjauh. Melihat Citra membantunya setiap hari hingga terkadang lupa belajar dan kekurangan waktu mengerjakan tugas saja sudah membuatnya sedih. Dan saat mendengar usul anaknya untuk berhenti sekolah demi membantunya mencukupi kebutuhan membuat hatinya begitu hancur. Kasih merasa tidak becus menjadi orang tua. Tidak mampu mempertahankan rumah tangga hingga Gunawan meninggalkannya. Lalu sekarang, Kasih merasa tidak pecus mengurus anak-anaknya hingga Citra merasa harus membantunya.

Aku memang orang tua yang gagal! batin Kasih sambil menumpahkan emosinya pada pakaian yang sedang ia kucek.

***

Dengan langkah cepat, Citra menuju sekolah. Tetapi sesampainya di sekolah, Citra tak langsung masuk kelas. Ia duduk mendekam di tempat persembunyiannya—bagian tersudut belakang gedung sekolah—sambil mengeringkan air matanya. Dengan keadaan hati yang rapuh, Citra tak bisa bertemu siapapun sekarang. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian teman-teman dan guru sekolahnya karena bekas menangis di wajahnya.

Tadi sewaktu menuju sekolah, Citra melihat ayahnya sedang berada di dalam mobil bersama seorang wanita. Mobil itu berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Citra menghentikan langkahnya dan memandang ayahnya. Perempuan itu yakin ayahnya menyadari keberadaannya. Tetapi pria itu tidak mengacuhkan Citra, justru asyik mengobrol dan tertawa dengan perempuan jalang itu tanpa mempedulikan Citra sedikitpun.

Ayah jahat! Nggak punya hati! Ayah macam apa yang sama sekali nggak peduli sama anaknya?! Dasar.... Citra menggumamkan sumpah serapah sambil menghujat ayahnya dalam hati. Pemandangan yang menyakitkan sekali, bak luka yang ditaburi garam. Pemandangan yang juga semakin memupuk kebencian dihatinya terhadap ayahnya.

Citra menghapus air mata terakhirnya dan berhenti melankolis ketika bel masuk berbunyi. Sebelum masuk kelas, ia membasuh wajahnya di toilet.

Lihat selengkapnya