Mirror

Lolita Alvianti susintaningrum
Chapter #4

TIGA

Kehidupan Citra tidak pernah sama lagi sejak ayahnya pergi dari rumah, meninggalkan dirinya, ibunya, dan Amel. Bayang-bayang akan masa depan cerah seolah memudar dan menghilang. Jangankan untuk memikirkan masa depan, memikirkan kelanjutan kehidupan mereka untuk hari esok saja sudah membuatnya pusing. Hari-hari terasa berat untuk dilalui. Bahkan semangat pagi yang selalu membuatnya melangkah ringan ke sekolah menghilang entah ke mana.

Sekarang, bisa bangun pagi tanpa banyak masalah dan berjalan ke sekolah dengan perasaan datar saja masih bagus, dibanding berjalan ke sekolah dengan perasaan tidak enak di setiap langkahnya. Citra menyadari, kini ia dan keluarganya sedang menjadi buah bibir para tetangga. Seolah kehidupannya dan keluarganya adalah konsumsi publik yang 'sedap', buah bibir yang asyik dan tak ada habisnya untuk dibicarakan. Mulai dari perselingkuhan sang Ayah, kepergian Ayahnya dari rumah, kehidupan ekonomi mereka yang turun drastis, dan sekarang pekerjaan ibunya. Citra heran, kenapa mereka segitunya mengurusi kehidupan keluarganya dan membicarakan pekerjaan ibunya? Memangnya apa untungnya buat mereka? Toh apapun yang terjadi, ia dan keluarganya tidak pernah merepotkan tetangga-tetangganya kan?

Sebal? Tentu saja. Tapi Citra yang memang dasar cuek malas mencari masalah. Sejak tragedi keluarganya, ia memilih untuk tidak banyak bicara. Seperti saat ini, ia mencoba menulikan telinganya dari omongan-omongan dan tatapan-tatapan tidak mengenakkan dari tetangganya. Sebaiknya Citra tidak usah mencari masalah. Yah, masalah hidupnya saja sudah cukup berat. Biar saja sekarang mulut mereka membicarakan keluarganya sampai puas, nanti kalau mereka sudah bosan atau menemukan topik lain yang lebih seru, mereka akan diam sendiri. 

Biasanya, persoalan omongan tak enak orang tentang dirinya dan keluarganya hanya ada di lingkungan rumahnya. Sedangkan di sekolah, persoalannya hanyalah ulangan mendadak dan pengeluaran tak terduga seperti membeli buku atau membayar biaya praktek. Tapi kini, entah kenapa masalah omongan tak enak itu juga ada di sekolah. Tiba-tiba saja orang-orang di sekolah Citra menatapnya dengan tatapan tidak enak disertai bisikan-bisikan yang tak jelas didengarnya. Dan setiap kali Citra menoleh, mereka berpaling dan menghindar. Hari ini tampaknya Citra menjadi murid populer, dalam arti yang kurang baik.

Ya Tuhan, apakah mereka juga sedang membicarakan tentang pekerjaan ibunya seperti tetangga-tetangganya? pikir Citra resah. Gemuruh emosi kemarahan dan nelangsa menyesaki dadanya, mati-matian ia menahan tangis dan mempertahankan wajah datarnya. Andai saja bisa, ingin sekali Citra tidak usah sekolah lagi. Tapi ia tidak ingin jadi anak yang putus sekolah dan benar-benar kehilangan masa depannya. Meskipun keluarganya luluhlantak, Citra yakin masa depannya masih dapat terselamatkan. Salah satu caranya adalah, ia harus menyelesaikan pendidikannya.

Aku harus kuat! Terserah orang-orang itu mau ngomong apa tentang keluargaku. Aku nggak akan menyerah, apalagi keluar dari sekolah hanya karena digunjing, Citra menyemangati dirinya sendiri dalam hati sambil menulikan telinganya.

"Nggak malu apa dia hidup dan sekolah pakai uang haram?!" 

Kali ini bukan bisikan, Citra mendengarnya dengan jelas. Ia menghentikan langkah dan menoleh. Dua orang perempuan berdiri tak jauh darinya, menatapnya dengan wajah judes dan jijik. Kemarahan yang ia tahan mendidih hingga ke ubun-ubun dan siap meledak. Kurangajar sekali mereka! Mulut biadab seperti itu harus diberi pelajaran!

Citra hampir melangkah menghampiri dua perempuan yang menghinanya itu saat Wendy datang dan merangkulnya. 

"Jangan, Cit," bisik Wendy. 

Dengan napas terengah-engah menahan amarah, Citra berhenti dan menoleh ke arah sahabatnya. Wendy menatap Citra dan menggeleng, membuat dominasi akal sehat Citra kembali. Ia mengurungkan niat untuk melabrak perempuan itu dan melanjutkan langkah ke kelas bersama Wendy dalam diam sambil mengatur napas dan detak jantungnya yang terpacu karena ledakan emosi tadi.

Lihat selengkapnya