MIRROR

Ratih Abeey
Chapter #3

2. Rumah Lama


Ghea membuka sedikit matanya, ketika dia mendengar suara grasak-grusuk di jendela kamarnya. Ghea juga mencoba duduk dengan mata yang sembab karena seharian ini menangis. Kamarnya yang gelap dengan penerangan minim dari luar jendela, membuatnya menyipitkan mata untuk melihat ada apa di sana. Dua buah bayangan hitam berdiri di dekat gorden tipis yang melambai-lambai tertiup angin malam. Tidak berapa lama, bayangan itu bergerak. Seolah-olah menghampiri ke arah Ghea. Dengan perasaan takut akhirnya Ghea menutup mata rapat sambil menahan nafas. Dia tidak mau mengambil resiko dibacok karena mengira ada pencuri masuk ke dalam kamarnya.


Terdengar suara korek dinyalakan. Ghea semakin mengkerut. Bagaimana kalau Ghea akan dibakar hidup-hidup?


Dua sosok itu kini semakin dekat. Ghea semakin merasakan hawa dingin campur panas ditubuhnya.


Tapi seketika,


“Happy birthday Ghea!”


Jantung Ghea hampir copot saat ia dengan reflek membuka matanya melihat dua kepala berambut panjang—nampak menyeramkan di matanya— yang tersinari oleh cahaya lilin bentuk angka enam belas di atas kue berwarna cokelat.


“Astaga! Kalian ngagetin aja deh. Gak bisa apa masuknya biasa aja jangan bikin gue parno?!” ucap Ghea. Mereka terkekeh geli. Ghea hafal dua orang itu. Mereka adalah Vero dan Bella. Sahabat Ghea sejak dari kecil. Kini rasa takutnya hilang seketika begitu senyuman mereka tercetak.


“Namanya juga kejutan, G,” kata Vero.


“Kejutan?” Ghea mendengus geli. “Gue pikir malam ini ada yang mau ngepet?”


“Ghea ih. Masa kita bela-belain begadang kek gini buat lo malah dikatain mau ngepet? Dasar gila, lo!” sungut Bella. Gadis berkaca mata minus itu menyodorkan nampan berisi kue ke wajah Ghea.


“Eh, btw ini kue-nya buat gue? Kok namanya Vero sih?”


Vero melempar pandangan pada Bella. Mereka kompak menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Lalu Vero kembali menatapnya dengan cengengesan lebar.


“Hehe... Sori, ya G. Kita gak sempet beli kue yang baru. Karena kebetulan gue malam tadi dikasih kejutan sama keluarga gue, jadi kita pake kue ini,” jawab Vero, si cewek wangi Strawberry.


“Lo enggak akan sedih-kan, G? Kalau kita kasih kue bekas?”


Ghea tersenyum simpul memaklumi.

“Enggak apa-apa kok. Kalian dateng ke sini malam-malam aja udah bikin gue seneng.”


“Tapi kita jadi gak enak nih sama lo.”


“Ya, elah baper amat sih lo berdua.” Ghea merangkul bahu Vero dan Bella, mereka mendekat. “Lagian siapa sih yang ulang tahun sekarang? Ulang tahun gue kan satu minggu lagi.”


“Lo kan besok mau pindah. Kapan lagi kita bisa ngerayain ulang tahun lo, Ghea!” balas Vero. Bella ikutan mengangguk.


“Kalian tahu darimana, besok gue mau pindah?” kedua alis Ghea naik.


“Nyokap lo. Dia yang ngasih tahu kita kalau lo besok bakalan pindah rumah sekaligus pindah sekolah.”


“Lagian lo tuh kenapa sih pindahnya ngedadak banget. Kita kan jadi gak sempet beli kue.”


Ghea langsung terdiam beberapa saat. Pikiran itu kembali membelenggu di batinnya. Tangannya perlahan turun. Wajahnya yang ceria pun berubah menjadi sendu. “Sebenernya, gue juga gak mau pindah. Gue gak mau pergi dari kalian. Tapi mau gimana lagi, ini keputusan bokap.”


“Gue juga enggak ngerti kenapa bokap ngambil keputusan mendadak kayak gini... Lo berdua tahu kan gimana wataknya bokap gue?” Vero dan Bella mengangguk samar. “Sampai kapan pun, bokap gue tuh bakalan jadi bokap paling keras kepala di dunia ini.”


“Lo do'ain aja. Semoga suatu saat nanti bokap lo berubah. Karena kita khawatir sama lo, G. Gimana kalau lo bakalan jadi jomblo seumur hidup, gara-gara bokap lo yang super overprotektif.”


“Tambah miris sih gue dengernya.”


“Jadi kapan gue tiup lilinnya?” tanya Ghea.


Vero dan Bella nyengir mendengarnya sebelum mempersilahkan Ghea untuk mulai meniupnya. Ghea menghirup oksigen dalam-dalam sambil memejamkan mata, ia sudah bersiap untuk meniup. Tetapi diurungkan kembali saat Vero berbicara. “Make a wish dulu.” Dengan tangan hampir menutupi seluruh api pada lilin merah menyala dihadapan mereka.


Ghea memejamkan mata sebentar.


“Tuhan, kasih aku satu kesempatan untuk merasakan kehidupan di hari ulang tahun ku nanti.”


Ghea pun meniupnya. Vero dam Bella tersenyum girang sambil memeluk tubuh Ghea. Sungguh! Tempat yang menurut Ghea paling nyaman saat ini adalah sahabat. Karena Ghea bisa berbagi duka tanpa harus berpura-pura melibatkan bahagia.


Keesokan paginya, Ghea turun dari dalam Taxi bersamaan dengan kedua orang tuanya. Menurunkan barang dari bagasi dan mengedarkan pandangannya saat baru saja menginjakkan kaki di rumah barunya. Bukan baru, tapi Ayah bilang rumah lama mereka yang sudah ditinggalkan semenjak Ghea berumur empat bulan.


Rumahnya memang cukup luas. Hanya saja sangat berantakan karena mungkin sudah lama juga tidak ditempati. Ada dua pohon mangga dihalaman rumah, yang dimana dedaunan berserakan di bawahnya. Dan saat Ayah sudah membuka kunci pintu utama, mereka langsung disuguhi pemandangan penuh debu dan juga sarang laba-laba. Menurut Ghea, sepertinya membereskan rumah ini tidak cukup dengan satu hari saja. Mereka perlu dua atau sampai tiga hari.


Tapi meski begitu, barang-barang dan peralatan di sana masih terbilang utuh. Mungkin karena sebelum keluar dari rumah itu, Ayah dan Mama menutupinya dengan beberapa kain putih.


“Ghea,” panggil Mama.


Lihat selengkapnya